Penamaan Melayu dan Melayu Riau

Candi Muara Takus di IV Koto Kampar, Kampar, Riau. (foto: kosabudaya.id)

A. Melayu Riau
Melayu Riau adalah istilah untuk menyebutkan orang Melayu yang berada di Riau (daratan maupun kepulauan) yang merupakan bagian dari bangsa Melayu yang terdapat di Sumatera, Semenanjung Malaya, dan di pelbagai daerah di Asia Tenggara. Melayu Riau juga merujuk kepada salah satu dialek bahasa Melayu yang dituturkan oleh masyarakat Riau.

B. Penamaan Melayu
Istilah Melayu berasal dari kata mala (yang berarti mula) dan yu (yang berarti negeri) seperti dinisbahkan kepada kata Ganggayu yang berarti negeri Gangga. Pendapat ini bisa dihubungkan dengan cerita rakyat Melayu yang paling luas dikenal, yaitu cerita Si Kelambai atau Sang Kelambai. Cerita ini mengisahkan berbagai negeri, patung, gua, dan ukiran dan sebagainya, yang dihuni atau disentuh oleh Si Kelambai, semuanya akan mendapat keajaiban. Ini memberi petunjuk bahwa negeri yang mula-mula dihuni orang Melayu pada zaman purba itu, telah mempunyai peradaban yang cukup tinggi.

Bacaan Lainnya

Kata melayu atau melayur dalam bahasa Tamil berarti tanah tinggi atau bukit, di samping kata malay yang berarti hujan. Ini bersesuaian dengan negeri-negeri orang Melayu pada awalnya terletak pada perbukitan, seperti tersebut dalam Sejarah Melayu, Bukit Siguntang Mahameru. Negeri ini dikenal sebagai negeri yang banyak mendapat hujan, karena terletak antara dua benua, yaitu Asia dan Australia.

Dalam bahasa Jawa, kata melayu berarti lari atau berjalan cepat. Lalu, dikenal pula ada sungai Melayu, di antaranya dekat Johor dan Bangkahulu. Semua istilah dan perkataan itu dapat dirangkumkan sehingga melayu dapat diartikan sebagai suatu negeri yang mula-mula didiami, dan dilalui oleh sungai, yang diberi pula nama sungai Melayu. Mereka membuat negeri di atas bukit, karena ada pencairan es Kutub Utara yang menyebabkan sejumlah daratan atau pulau yang rendah jadi terendam air. Banjir dari es Kutub Utara itu lebih terkenal dengan banjir atau topan Nabi Nuh. Untuk menghindari banjir itu mereka berlarian mencari tempat yang tinggi (bukit) lalu disitulah mereka membuat negeri.

Istilah melayu baru dikenal sekitar tahun 644 Masehi, melalui tulisan Cina yang menyebutkan dengan kata Mo-lo-yeu. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa Mo-lo-yeu mengirimkan utusan ke Cina, membawa barang hasil bumi untuk dipersembahkan kepada kaisar Cina. Pada masa itu, istilah melayu merujuk kepada sebuah kerajaan yang berkemungkinan berkedudukan di Jambi saat ini, dan Jambi diyakini bermula dari Muara Takus. Namun demikian, kerajaan Melayu sudah ada sejak satu milenium pertama sebelum Masehi yang dibuktikan gerabah keramik di Barus di tengah Pulau Sumatera.

Sebagian ahli menyebutkan nenek moyang orang Melayu berasal dari suku Dravida di India, mungkin juga Mongolia atau campuran Dravida dengan Aria yang kemudian kawin dengan ras Mongolia. Pendapat lain mengatakan bangsa Melayu berasal dari ras Mongoloid Melayu dan berbahasa Melayu yang termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia atau disebut juga Melayu Polinesia. Akan tetapi, bahasa Melayu yang ada sekarang sudah berkembang sehingga menghasilkan beragam dialek.

C. Penamaan Riau
Penamaan Riau berasal dari tiga kemungkinan. Pertama, toponomi riau berasal dari penamaan orang Portugis rio yang berarti sungai. Kedua, mungkin berasal dari tokoh Sinbad al-Bahar dalam kitab Alfu Laila Wa Laila menyebut riahi untuk suatu tempat di pulau Bintan, seperti yang pernah dikemukakan oleh almarhum Oemar Amin Hoesin dalam salah satu pidatonya mengenai terbentuknya Propinsi Riau. Ketiga  berasal dari penuturan rakyat Riau sendiri, diangkat dari kata rioh atau riuh yang berarti hiruk-pikuk, ramai orang bekerja.

Nama riau yang berpangkal dari ucapan rakyat setempat, konon berasal dari suatu peristiwa ketika didirikannya negeri baru di sungai Carang untuk dijadikan pusat kerajaan. Hulu sungai itulah yang kemudian bernama Ulu Riau. Adapun peristiwa itu kira-kira mempunyai teks seperti di bawah ini.

Tatkala perahu-perahu dagang yang semula pergi ke Makam Tauhid (ibukota Kerajaan Johor) diperintahkan membawa barang dagangannya ke sungai Carang di pulau Bintan (suatu tempat sedang didirikan negeri baru) di muara sungai itu mereka kehilangan arah. Bila ditanyakan kepada awak-awak perahu yang hilir, “di mana tempat orang-orang raja mendirikan negeri” mendapat jawaban “di sana di tempat yang rioh” sambil mengisyaratkan ke hulu sungai. Menjelang sampai ke tempat yang dimaksud, jika ditanya ke mana maksud mereka, selalu mereka jawab, “mau ke rioh”.

Jadi, semula nama riau digunakan untuk nama sebuah negeri baru yang kemudian menjadi pusat kerajaan di pulau Bintan. Menurut sumber sejarah yang dibaca oleh Puji Astuti sebagaimana dimuat dalam tulisannya “Sejarah Pembukaan Negeri Baru yang Bernama Riau” (lihat Riau Pos, 22-8-2000 halaman 4) pembukaan negeri itu terjadi 27 September 1673. Pembukaan negeri Riau yang sebelumnya bernama sungai Carang itu, diperintahkan oleh Sultan Johor Abdul Jalil Syah III (1623-1677) kepada Laksamana Abdul Jamil.

Setelah Riau menjadi negeri, maka Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah merupakan sultan Riau pertama yang dinobatkan pada pada 4 Oktober 1722. Setelah itu nama ini dipakai untuk menunjukkan satu di antara 4 daerah utama kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga. Kemudian setelah Perjanjian London 1824 yang membelah dua kerajaan tersebut menjadi dua bagian, maka nama riau digabungkan dengan lingga, sehingga terkenal pula sebupan Kerajaan Riau-Lingga.

Dalam zaman pemerintahan Belanda nama ini dipergunkan untuk daerah kepulauan Riau sekarang ini ditambah dengan pesisir Timur Sumatera. Begitu juga dalam zaman Jepang. Dalam zaman kemerdekaan, mula-mula nama itu dipergunakan untuk nama sebuah kabupaten dalam wilayah Propvinsi Sumatera Tengah. Setelah Propinsi Riau terbentuk tahun 1958, maka nama itu di samping dipergunakan untuk nama sebuah kabupaten, dipergunakan pula untuk nama sebuah propinsi seperti sekarang ini.

Rujukan
1. Dewan Bahasa dan Pustaka. 1999. Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, edisi kedua cetakan pertama, Selagor: Dewan Bahasa dan Pustaka
2. UU Hamidy. 2004. Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau. Pekanbaru: Bilik Kreatif Press
3. Elmustian Rahman, dkk. 2012. Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau, Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *