Mata Pencaharian Tapak Lapan

Mengirik Padi di Kenegerian Baturijal. (foto: guruku.kosabudaya.id)

A. Pengertian
Tapak lapan adalah delapan pekerjaan tradisional yang dilakukan oleh orang-orang Melayu secara turun temurun dalam usaha pemenuhan kebutuhan ekonomi. Secara etimologi, tapak berarti tempat berpijak atau fondasi dari suatu bangunan. Istilah ini juga bisa disandingkan dengan telapak dalam penyebutan tapak kaki atau tapak tangan. Sedangkan  lapan berarti delapan. Tapak lapan secara harfiah berarti delapan tapak.

Pemikiran tapak lapan pertama kali dikemukakan oleh UU. Hamidy di dalam bukunya “Masyarakat Adat Kuantan Singingi” (2000).  UU. Hamidy menyebutkan, terdapat delapan pekerjaan tradisional yang umum dilakukan oleh orang Melayu. Kedelapan mata pencaharian tersebut merangkum seluruh bidang pekerjaan yang meliputi berladang (pertanian), beternak (peternakan), menangkap ikan (perikanan), beniro atau pengolahan hasil pekarangan (agroindustri), mengambil hasil hutan (perhutanan), berkebun (perkebunan), bertukang dan kemahiran lainnya (industri kreatif), dan berniaga (perdagangan).

Bacaan Lainnya

Delapan jenis pekerjaan tapak lapan tidak dilakuakan secara bersamaan, tetapi memperhatikan pembagian waktu (musiman) dan kemahiran. Misalnya, jika musim penghujan kegiatan berladang dilakukan pada pagi hari, maka siang hari mengumpulkan hasil hutan, sore hari menggembalakan ternak, dan malam hari membuat aktivitas kerajinan tangan. Pada musim kemarau, jika berkebun dilakukan pada pagi hari, maka siang hari beniro atau bertukang, sore hari mencari ikan, dan malam hari menganyam padan. Misalnya, jika hujan sehingga tidak bisa menakik getah, maka dilakukan pekerjaan lain seperti mendulang, beniro, mencari ikan, ataupun mengumpulkan hasil hutan.

Sebagian kecil bidang pekerjaan tidak tercakup di dalam tapak lapan. Pekerjaan tersebut misalnya menjual tenaga (karyawan/profesi), menjual kemampuan pikiran dan magi seperti menjadi dukun, ahli syarak, guru agama, ahli nujum (ahli membintang), pawang, pelaku seni, guru mengaji, guru silat, dan mualim kapal (pemandu arah). 

Mata pencarian tapak lapan mendorong masyarakat untuk tangkas dalam bekerja, terhindar dari ketergantungan dengan satu jenis pekerjaan, memanfaatkan waktu secara maksimal, dan mengokohkan ketahanan ekonomi masyarakat.

B. Bidang-bidang Pekerjaan Tapak Lapan
Bidang pekerjaan di dalam tapak lapan meliputi delapan pekerjaan tradional yang dilakukan oleh masyarakat Melayu. Kedelapan mata pencaharian tersebut adalah berladang (pertanian), beternak (peternakan), menangkap ikan (perikanan), beniro atau pengolahan hasil pekarangan (agroindustri), mengambil hasil hutan (perhutanan), berkebun (perkebunan), bertukang dan kemahiran lainnya (industri kreatif), dan berniaga (perdagangan).

1. Berladang
Berladang padi dengan pola tradisional ladang berpindah sudah dilakukan secara turun temurun. Teknik ini menyeimbangkan kesuburan tanah dan kelestarian alam. Pembukaan tanah peladangan tidak dilakukan secara bebas, tetapi dipenuhi dengan hukum-hukum hutan-tanah dan pantang larang yang diatur secara ketat di dalam adat. Pembukaan tanah peladangan juga hanya bisa dilakukan di hutan cadangan atau bencah, dan tidak dibenarkan di rimba larangan ataupun rimba kepungan sialang. 

Pola berladang dilakukan secara evolusi dan berkesinambungan. Pembukaan hutan pertama kali diperuntukkan dengan menanam padi untuk dua musim tanam. Tanah peladang yang telah selesai digunakan dilanjutkan dengan menanam tanam keras seperti karet. Pembukaan ladang berikutnya dilakukan pada salah satu sisi ladang secara bertahap. Apabila selesai berladang padi, ditanami lagi tanaman keras. Begitu seterusnya sehingga terbuka beberapa lahan perkebunan. Tradisi menanam tanaman keras setelah berladang juga menjaga hutan tanah tetap produktif dan tidak menjadi hutan gundul. 

Berladang pada dasarnya tidak hanya sekadar menanam padi atau tanaman lainnya, namun juga menjaga kekayaan dan kekhasan budaya. Aktivitas berladang selalu diringi dengan mitos-mitos dan pelaksanaan ritual dan upacara. Hal ini dimaksudkan sebagai batas-batas yang mengatur pola berladang sebagai bagian dalam menjaga hutan tanah. Dengan sistem perladangan yang khas tersebut, masyarakat Melayu memahami dan mengerti hubungan antara manusia dan alam secara utuh. Tanah, sungai dan hutan merupakan jiwa, raga dan menyatu dengan kehidupan kebudayaan. 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *