Makanan Tradisi pada Upacara Adat Melayu Riau

Makan Berhidang dalam upacara perkawinan (foto: guruku.kosabudaya.id)

A. Pengertian
Tradisi berasal dari bahasa latin traditio, yang berarti diteruskan” atau kebiasaan. Dalam pengertian yang paling sederhana bermakna sebagai sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Tradisi biasanya berkembang dalam suatu kelompok dengan kebudayaan yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi, termasuk informasi masakan atau makanan.

Makanan tradisi adalah makanan tradisonal yang menjadi kekhasan suatu masyarakat, sedangkan upacara adat adalah upacara yang dilaksanakan berkaitan dengan adat istidat. Upacara adat misalnya perkawinan, sunat rasul, atau penabalan datuk-datuk adat. Makanan tradisi pada upacara adat adalah makanan tradisonal yang lazim disediakan atau dihidangkan dalam pelaksanaan upacara-upacara adat.

Bacaan Lainnya

B. Penyajian Makanan Tradisi
Makanan tradisi pada upacara adat disajikan dalam suatu tradisi yang disebut makan berhidang (disebut juga makan bajambau, makan beradat, atau makan basamo). Makan berhidang telah dilakukan secara turun temurun dan menjadi tradisi yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Melayu Riau.

Pelaksanaan makan berhidang berfungsi untuk mengekalkan kekerabatan dan menjalin hubungan silahturahmi yang erat antar majelis hidang. Makan berhidang juga dimaksudkan sebagai bentuk kebersamaan seperti yang disebutkan dalam ungkapan makan sepinggang duduk setikar.

Dalam Tunjuk Ajar Melayu, filosofi makan berhidang diuraikan sebagai berikut:

Seperiuk nasi jangan mencaci
Sepiring makan jangan menyeman
Sekelambu jangan cemburu
Setikar jangan mendakar
Selapik jangan mengusik
Sebaya jangan aniaya
Sepermainan jangan memakan
Seatap jangan menyelap
Sesampan jangan mengabaikan
Seperahu jangan memberi malu

Penyajian makanan berhidang dilaksanakan di tempat-tempat tertentu berdasarkan upacara yang sedang dilaksanakan. Makanan dihidangkan kemudian majelis hidang duduk melingkari makanan dengan bersila dan perempuan dengan duduk bersimpuh di lantai.

Dilihat dari waktu pelaksanaan, makan berhidang dapat dibagi dalam dua bentuk yaitu makan berhidang harian dan makan berhidang upacara adat.

1. Berhidang Harian
Makan berhidang harian disebut juga makan berhidang dalam keluarga. Makan berhidang ini dilaksanakan saat makan harian misalnya makan siang atau makan malam, menyambut tamu, ataupun pada hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Makan berhidang harian diikuti oleh keluarga inti ataupun keluarga besar.

2. Berhidang Upacara Adat
Makan berhidang pada upacara adat  dilaksanakan sekaligus menjadi bagian dari suatu upacara adat misalnya dalam majelis perkawinan, akikah, sunat rasul, memperingati 7 hari, 40 hari, 100 hari kematian, dan penabalan pemimpin suku atau ninik mamak.

Prosesi makan berhidang dimulai dengan pepatah-petitih dari pucuk pimpinan suku yang menjadi pelaksana makan berhidang. Pepatah-petitih menjelaskan maksud pelaksanaan upacara, sambutan atau ucapan terimakasih kepada majelis hidang, dan ditutup dengan mengajak untuk menikmati makan berhidang secara bersama-sama.

Sebagian wilayah, makan berhidang menggunakan talam bulat sebagai wadah untuk meletakan seluruh hidangan. Jemputan kemudian duduk melingkar dengan hitungan ganjil di setiap talam antara 3, 5 atau 7 orang. Pada wilayah lain, makanan berhidang disajikan dengan menghidangkan seluruh makanan. Para jemputan kemudian duduk bersila dan melingkar atau berjejer mengelilili hidangan.   

C. Jenis-jenis Makanan Tradisi
Makanan tradisi pada upacara adat dapat dikelompokan dalam dua jenis yaitu makanan utama dan makanan pendamping. Makanan utama berupa nasi (nasi putih atau nasi lemak) yang disertai dengan lauk pauk, sedangkan makanan pendamping meliputi beragam jenis juadah atau kueh-keuh.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *