Cerita Jenaka Melayu Riau

Buku Cerita Rakyat Daerah Riau. (foto: folklor.kosabudaya.id)

A. Pengertian
Cerita jenaka adalah cerita rakyat yang mengandungi unsur humor atau lucu. Cerita ini membawa kesan yang menghibur karena kejenakaan yang menonjol melalui sifat watak-watak yang lucu, gelihati dan membawa rasa gembira. Cerita jenaka dalam alam orang Melayu cenderung menggambarkan kebodohan watak tokoh, namun ada juga yang cerdik absurd seperti Yong Dolah. Sifat bodoh tersebut akibat dari menafsiran sesuatu perintah yang salah menyebabkan watak jenaka itu melakukan aksi-aksi yang menimbulkan kelucuan.

Orang Melayu menyebut genre sastra ini dengan cerita pelipur lara atau penghibur lara, kadang-kadang disebut juga penglibur lara. Meskipun cerita-cerita mengandung humor namun ada juga peristiwa tragedi yang bersifat jenaka. Cerita jenaka anonim Melayu ini malah melintas batas daerah atau malah negara. 

Bacaan Lainnya

Orang Melayu menggunakan cerita jenaka ini bukan sekadar untuk berhibur lara. Tetapi juga dijadikan sebagai media pendidikan serta kritik untuk lingkungannya. Baik untuk lingkungan keluarga, masyarakat sekitarnya, malah kerajaan atau pemerintahan. Inilah salah satu cara orang Melayu mengritisi sesuatu keadaan atau peristiwa yang dianggap tidak sesuai atau tidak patut. Mencubit seraya menggelitik. Nilai-nilai pendidikan atau pesan moral ini selalu saja ada pada cerita-cerita jenaka Melayu.

Pengarang jenaka Melayu lama selalu anonim. Tidak dikenal nama pengarangnya. Tetapi ini juga tentu mempunyai maksud tertentu. Paling tidak ini bagian tradisi masa lalu, selain pengarangnya tidak perlu namanya dikenal, juga untuk  kenyamaan bila digunakan sebagai media untuk mengritisi kerajaan atau pemerintahan. Kritik juga selalu tajam, seperti cerita jenaka “Ahli Nujum Pak Belalang”, “Lebai Malang” atau “Musang Berjanggut”. Namun yang dikritik juga selalu tidak dapat akal untuk menolak atau membalasnya.

Selain watak bodoh, terdapat juga watak pintar dan watak yang selalu mengalami nasib malang. Dalam alam Melayu cerita jenaka yang sangat dikenal yaitu Pak Pandir, Pak Kaduk, Pak Belalang, Si Luncai, Lebai Malang, cerita Pelanduk Jenaka, dan terakhir cerita jenaka kontemporer yang lahir kemudian dari Bengkalis, yakni cerita Yong Dolah. Ada juga cerita jenaka yang merupakan pengaruh dari budaya lainnya seperti pengaruh budaya India, seperti dari Arab-Parsi dan India, seperti Pak Belalang, Si Luncai, Mat Jenin, Abu Nawas, Awang Kenit, Musang Berjanggut, Sang Lamri, Cerita Abu Nawas, dan Hikayat Mahshodhak.

B. Jenis-jenis Cerita Janaka
Pada umumnya cerita jenaka terbagi kepada dua jenis, yakni:
1. Cerita jenaka asli Melayu
Cerita jenaka asli Melayu yaitu cerita jenaka yang lebih berorientasikan soal-soal yang berkaitan dengan isu tempatan dari segi watak, latar, permasalahan dan sebagainya.
Contoh: Cerita Pak Pandir, Cerita Lebai Malang, Cerita Pak Kaduk, Cerita Pak Belalang, Cerita Si Luncai, dan cerita-cerita Yong Dolah.

2. Cerita jenaka pengaruh asing
Cerita jenaka pengaruh asing atau luar yaitu cerita yang mendapat pengaruh terutama Hindu dan Islam (Arab Parsi) karena masyarakat Melayu yang bersifat terbuka dan menerima pengaruh-pengaruh tersebut. Contoh: Cerita Mat Jenin (Hindu), Cerita Abu Nawas dan Cerita Musang Berjanggut (Islam).

C. Ciri-ciri Cerita Jenaka
Dari segi watak dan perwatakan. Cerita Jenaka berkisar pada watak dalam kalangan rakyat bawahan yang lucu. Nama watak melambangkan sifat-sifat watak berkenaan, contohnya: watak Pak Pandir, Lebai Malang, Pak Kaduk, Si Luncai dan Pak Belalang, dan Yong Dolah. Kelucuan cerita jenaka dilahirkan dari sifat dan tindakan yang dilakukan oleh watak itu sendiri.

Sifat terlalu bodoh hingga mendatangkan bencana melakukan kesilapan kerana kebodohan tetapi melucukan. Contohnya cerita Lebai Malang, unsur lucu timbul daripada sifat bodoh-sialnya. Beliau tidak dapat memilih tempat majlis kenduri yang lahir daripada sifat tamak dan haloba. Kelucuan bertambah apabila lempengnya digonggong oleh anjing.

Sifat terlalu pintar dan bijaksana. Tindakan watak itu tidak dapat kita jangkakan, mungkin secara sengaja tetapi amat melucukan. Contoh Si Luncai berjaya menipu saudagar Keling dengan mengatakan ia dimasukkan ke dalam guni sebab enggan berkahwin dengan puteri raja. Akhirnya saudagar itu mengambil tempatnya di dalam guni.

Sifat-sifat watak lucu dalam cerita dibahagikaan kepada tiga golongan yaitu:
a) Watak bodoh-sial. Contoh cerita adalah Lebai Malang dan Pak Kaduk.
b) Watak pintar-bodoh. Contoh cerita adalah Pak Pandir.
c) Watak cerdik. Contoh cerita adalah Cerita Pak Belalang, si Luncai, dan Yong Dolah.

Dari aspek latar, latar dalam cerita jenaka berlaku di alam nyata, dalam kalangan masyarakat biasa, suasana masyarakat tani atau nelayan dan tidak bercampur dengan alam fantasi. Plot cerita jenaka bersifat sederhana, mudah, lurus, kronologi dan tidak berbelit-belit. Cerita atau peristiwa lebih tertumpu kepada watak utama sahaja. Dalam satu-satu cerita jenaka terdapat episod-episod kecil dan berlainan tetapi dapat berdiri sendiri sebagai sebuah cerita. Jalinan plotnya dimasukkan unsur-unsur ketegangan atau konflik, klimaks serta penyelesaian cerita berakhir dengan ‘happy-ending’ atau ‘tragic-ending’. 

Di Riau cerita model ini tidak berhenti pada cerita jenaka peninggalan Melayu lama yang pengarangnya selalu anonim. Model cerita ini kemudian bertransformasi. Cerita jenaka Melayu lama yang anonim itu ditulis ulang menjadi berupa buku. Selain itu juga muncul pencerita-pencerita jenaka secara lisan. Yong Dolah, adalah sosok paling fenomenal pencerita jenaka di daerah ini. Sedangkan Tengkoe Nazir (Nazir Bey) merupakan penulis ulang cerita-cerita jenaka Melayu lama yang nyaris tidak terdokumentasi itu. Cerita yang populer dari tangan Tengkoe Nazir antaranya Pak Ande atau Pak Pandir. Cerita tulisannya selain dibukukan juga pernah dimuat di majalah Canang.

D. Contoh Ceritua Jenaka

“Pak Pandir”
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang laki-laki yang bernama Pak Pandir. Pak Pandir tinggal bersama istri dan putra tunggalnya yang masih kecil. Setiap harinya Pak Pandir memenuhi kebutuhannya dengan cara memancing dan menangkap burung.

Suatu hari Pak Pandir pergi menangkap burung punai, Setelah mendapatkan seekor burung, ia langsung melepasnya sambil berkata, “Hai burung, pergilah kau ke rumahku. Temuilah Mak Mandir dan mintalah ia menyembelihmu untuk dimasak sebagai lauk makan siang ini.” Hal yang sama juga dilakukan Pak Pandir pada setiap burung yang berhasil ia tangkap. Tujuh burung yang ia dapatkan selalu dilepaskan.

Setelah merasa lelah dan Pak Pandir sudah merasakan lapar, ia memutuskan untuk pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Pak Pandir segera menemui istrinya yang sedang memasak di dapur.

“Mak Pandir, mana pindang burung punai tadi?” tanya Pak Pandir dengan semangat.
Mak Mandir bingung dengan karena tidak tahu apa yang dimaksudkan suaminya. Ia balik bertanya kepada suaminya.

“Apa yang abang maksudkan, Bang?”

“Tadi aku menangkap burung. Setiap burung yang berhasil aku tangkap aku suruh ke rumah untuk disembelih dan dimasak olehmu,” jawab Pak Pandir santai cara lidahnya yang cedal.

“Ya ampun, Bang, alangkah bodohnya awak. Yang namanya burung itu kalau dilepaskan pasti akan terbang lagi,” kata istrinya, kesal.

Pak Pandir hanya diam saja. Ia duduk tanpa rasa bersalah mendengar ucapan istrinya. Keesokan harinya Pak Pandir kembali pergi menangkap burung di hutan.

“Kalau sudah dapat burungnya, jangan lupa diikatkan di kayu atau di kaki abang supaya burungnya tidak terbang!” pesan istrinya sebelum Pak Pandir pergi.

“Iya,” jawab Pak Pandir singkat seraya menuju hutan.

Belum lama berburu, sudah ada seekor burung punai yang berhasil ia dapatkan. Sesuai pesan Mak Mandir, ia segera mengikatkan burung yang ditangkapnya di kakinya. Selanjutnya banyak sekali burung yang berhasil yang ia tangkap. Selain mengikatkan burung yang didapatnya pada kakinya, ia juga mengikatkan pada tangan dan kedua kakinya. Karena begitu banyak burung yang dia ikatkan pada tubuhnya, Pak Pandir pun dibawa terbang jauh oleh burung-burung itu. Akan tetapi, karena semakin lama menahan tubuh Pak Pandir yang berat, tali-tali pengikat burung Pak Pandir tersebut putus dan lepas satu per satu. Akibatnya, Pak Pandir terjatuh.

Namun Pak Pandir sangat beruntung. Ia jatuh di atas istana raja dan dilihat oleh putri tunggal raja.

“Bang, apa buat abang di sini? Dari mana abang datang?” tanya putri raja.

“Abang dari kahyangan,” jawab Pak Pandir berbohong. Sementara di kakinya masih ada tali-tali bekas ikatan burung-burung punai. Tali-tali itu pun langsung dilepasnya karena ia malu dan takut diketahui oelh putri raja. Putri pun menyuruh Pak Pandir turun dan mengajaknya menghadap raja.

“Apa benar kamu berasal dari kahyangan?” Raja bertanya pada Pak Pandir.

“Iya betul,” jawab Pak Pandir, dia kembali berbohong.

Hal Ini merupakan suatu kebahagiaan bagi raja dan putrinya. Selama ini raja menunggu-nunggu kehadiran seseorang dari kahyangan untuk dinikahkan dengan putrinya. 

Raja pun berniat untuk menikahkan Pak Pandir dengan putrinya.

Beberapa hari sebelum pesta pernikahan digelar, raja memerintahkan prajuritnya untuk mengundang warga-warga dari tujuh kampung ke timur, tujuh kampung ke barat, tujuh kampung ke utara, dan tujuh kampung ke selatan.

Pesta pun digelar selama tujuh hari tujuh malam. Setelah selesai pesta, pagi harinya Pak Pandir bangun dan membuat api di bawah istana raja sambil melamun. Dalam lamunannya Pak Pandir teringat dengan istri dan anaknya.

“Bagaimana kabar agaknya anak dan istriku?” Dia bergumam sendiri.

Tanpa disadari Pak pandir, Raja mendengar ucapan Pak Pandir tersebut.

“Hah, ternyata kamu Pak Pandir. Bukan pangeran dari kahyangan,” tegur raja dengan keras.

“Benar, Raja.”

“Berarti engkau sudah membohongiku. Engkau harus dihukum seberat-beratnya,” raja menghardik dengan gusarnya.

Karena pada zaman itu tidak ada hukum yang berlaku, Raja menghukum Pak Pandir dengan cara menguliti bagian atas kepala Pak Pandir. Pak Pandir menjerit kesakitan. Kulit kepalanya terlepas. Darah bercucuran keluar. Kepalanya jadi berwarna merah berlumuran darah.

Dalam kondisi yang seperti itu, Pak Pandir pulang ke rumahnya. Ia berjalan dengan dengan langkah tergopoh-gopoh dan menahan rasa perih di kepalanya. 

Ketika sudah mendekati rumahnya, dari kejauhan anaknya melihat Pak Pandir pulang. Anaknya pun bersorang kegirangan,

“Hore… hore ayah pulang! Ayah pulang pakai songkok merah.”

“Budak betuah! Tidak tahu apa kepala orang sakit pedih begini dicakap songkok merah!” Pak Pandir menggerutu sambil terus berjalan mendekati rumahnya.

Alhamdulillah, abang balik. Pakai peci merah,” Mak Mandir ikut bahagia.

Sampai di rumah, Pak Pandir langsung duduk di teras rumahnya.

“Apa yang terjadi dengan kepalamu, Bang?” tanya istrinya setelah melihat kondisi suaminya dari dekat. Istrinya segera membersihkan kepala Pak Pandir, mengobatinya, dan membalut kepala Pak Pandir.

Di teras rumahnya Pak Pandir beristirahat sambil menceritakan apa yang dialaminya kepada anak dan istrinya.

“Alangkah bodohnya awak, Bang! Jangan mau dibuat orang serupa itu!” Istrinya geram.

“Tidak apalah Mak Pandir, yang penting sekarang abang sudah selamat. Abang senang sekarang kita bisa berkumpul lagi,” jawab Pak Pandir pasrah dan sekaligus bahagia.

Mereka sekeluarga pun berbahagia karena dapat berkumpul bersama lagi.

Rujukan:
Elmustian Rahman, dkk. 2012. Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau.
Taufik Ikram Jamil, Derichard H. Putra, Syaiful Anuar. 2020. Pendidikan Budaya Melayu Riau untuk SMA/SMK/MA Kelas XII. Pekanbaru: Penerbit Narawita.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *