Etika Kepemimpinan Melayu Riau

Dua pesilat menggunakan baju kurung cekak musang menyambut pengantin laki-laki dalam tradisi pernikahan Melayu Riau. (foto: guruku.kosabudaya.id)

A. Pengertian
Etika adalah ilmu yang menuntun seseorang untuk mengetahui tentang hal yang buruk, hak, dan kewajiban moral (akhlak). Sedangkah pemimpin adalah orang yang memimpin, berasal dari kata pimpin yang berarti bimbing atau tuntun. Kepemimpinan bermakna perihal pemimpin dan/atau cara memimpin. Dalam pengertian umum, kepemimpinan adalah suatu proses ketika seseorang memimpin (direct), membimbing (guide), memengaruhi (influence) atau mengontrol (control) pikiran, perasaan, atau tingkah laku orang lain. Ilmu diperlukan sebagai bekal untuk memimpin, sedangkan seni diperlukan untuk menerapkan ilmu tersebut sehingga pemimpin dapat berjalan dalam nuansa yang sejuk dan simpatik.

Raja Ali Haji dalam karyanya “Tsamarat al-Muhimmah” (1858) menjelaskan, kepemimpinan merupakan konsep tritunggal Melayu-Islam: khalifah-sultan-imam. Makna simbolik ‘khalifah’ adalah kewajiban mendirikan agama berdasarkan Alquran, sunah nabi, dan ijmak. Pemimpin sebagai ‘sultan’ bermakna kewajiban menegakkan hukum secara adil berdasarkan pedoman Allah dan rasul-Nya. Dalam kandungan makna ‘imam’, pemimpin harus berada paling depan di dalam situasi apa pun, sehingga menjadi ikutan semua orang di bawah kepemimpinannya. Dengan demikian, siapa pun yang mengindahkan dan menerapkan ketiga syarat kepemimpinan, maka akan mendapat hidayah dan inayah Allah dalam kepemimpinannya.

Bacaan Lainnya

Seorang pemimpin tidak boleh mengajukan diri untuk menjadi memimpin. Ia harus ditunjuk dan dipilih oleh masyarakat yang akan dipimpinnya. Pada saat menjadi pemimpin, ia juga tidak boleh meminta diagungkan ataupun dipuja. Dalam pepatah Melayu, seorang pemimpin hanya didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, dan dilebihkan sebenang.

Pemimpin dalam Melayu berkedudukan sebagai pelayan (khadam). Pemimpin dituntut lebih banyak berbuat untuk khalayak atau tidak mementingkan kesenangan diri sendiri. Meskipun sebagai pelayan, sesungguhnya pemimpin ditempatkan pada tempat yang mulia. Kemulian akan diperoleh bagi pemimpin yang telah berlaku adil dalam memimpin masyarakatnya.

Dalam ungkapan berikut menggambarkan kedudukan pemimpin dalam budaya Melayu adalah suatu kemulian:
didahulukan selangkah
dilebihkan sehari
dilebarkan setapak tangan
ditinggikan seranting
dilebihkan sebenang

Ungkapan tersebut bermakna suatu keharusan seseorang dalam mentaati pemimpin. Karenanya, pemimpin harus pula menunjukkan ketaatan atau kepatuhannya pada segala hal yang diatur dalam hukum. Hal itu akan mendidik orang-orang yang dipimpin untuk menghormati, mentaati, dan mematuhi sepanjang pemimpin tersebut menjalan­kan kewajibannya dengan baik dan benar. Bila seseorang yang dipimpin tidak taat pada pemimpin yang benar, kepadanya dikatakan sebagai pendurhaka.

Dalam tunjuk ajar Melayu, setiap individu harus mampu menjadikan dirinya sebagai pemimpin atau orang “yang dituakan.” Sekurang-kurangnya, menjadi pemimpin dalam rumah tangga atau keluarganya. Sebagai pemimpin, ia mesti memberikan tunjuk ajar kepada yang dipimpinnya sebagai bentuk tanggung jawabnya. Dalam memberikan tunjuk ajar, seorang pemimpin harus memperli­hatkan sikap dan perilaku terpuji sesuai dengan kedudukan dan kandungan isi tunjuk ajar yang akan diajarkannya. 

B. Etika Kepemimpinan
Penentuan seseorang menjadi pemimpin dalam Melayu selalu dikaitkan dengan ketentuan yang diajarkan dalam Islam. Etika kepemimpinan sebagai bagian inti dalam suatu kepemimpinan. Seseorang pemimpin yang melanggar etika, maka penghormatan orang-orang yang dipimpinnya akan berkurang. Pemimpin dianggap sebagai model dalam mempraktikkan etika yang baik. Dalam ungkapan tunjuk ajar Melayu dikatakan:

menjadi pemimpin hidup sempurna
lahir dan batin sama setara 
di dunia elok di akhirat mulia 
di situlah tegak tuah dan marwah

Tersebab pertimbangan etika, maka dalam memilih pemimpin harus didasari pada keahlian seseorang yang sesuai dengan bidang yang dipimpinnya. Misalnya, pemilihan pemimpin dalam mendoa tentulah diamanahkan kepada alim, ustaz, guru agama, dan lain sebagainya. Tidak akan mungkin upacara mendoa berjalan dengan baik jika dilakukan oleh orang yang bukan ahlinya.

Konsep dasar etika pemimpin dalam budaya Melayu secara umum dapat dibedakan menjadi empat persoalan. Kaitan mendasar pemimpin Melayu berkenaan dengan soalan martabat atau tingkat harkat kemanusiaan. Keempat konsep tersebut yakni, sadar akan martabat diri, mengetahui martabat memimpin, menjaga martabat orang lain, dan mempertahankan martabat wilayah.

1. Martabat Diri

Martabat diri dalam kebudayaan Melayu berkenaan dengan kepatuhan seseorang pada hukum-hukum yang berlaku. Hukum yang berlaku dalam kebudayaan Melayu Riau dapat di kelompokkan menjadi tiga, yakni ketaatan dalam hukum Allah (Islam), ketaatan pada adat dan kebudayaan, serta ketaatan pada hukum manusia (undang-undang kerajaan atau Negara).  Ketaatan menjadi dasar kepribadian. Bila seorang pemimpin tiada ketaatan, maka ia dikatakan tiada beretika. Pemimpin demikian tidak boleh diikut dan dicontoh. Tunjuk Ajar Melayu memberitahukan bahwa ketaatan dan ketakwaan adalah bentuk tahu akan diri:

menjadi pemimpin teguh beriman, 

memohon petinjuk kepada Tuhan 

menjadi pemimpin taat dan takwa, 

tahu dirinya seorang hamba

Martabat diri bagi orang Melayu bukan hanya menyangkut diri sendiri, tetapi juga menyangkut keluarga dan kerabat. Bila perbuatan yang tidak sesuai dengan adab kebudayaan Melayu dilakukan seorang anak akan menyebabkan rusaknya martabat orang tua. Bila seorang pemimpin memiliki anak atau istri yang melakukan perbuatan tidak beretika maka pemimpin tersebut dengan sendirinya dianggap tidak dapat menjaga martabat dirinya.

Kehilangan martabat diri dinilai sebagai kehinaan atau mendapat malu dalam hidup seorang manusia. Biasanya, pemimpin yang sadar bahwa martabat dirinya telah hilang, ia akan meminta untuk diganti. Untuk itu, orang Melayu diharuskan mampu menghindari malu dengan cara menjaga martabat dirinya.

2. Mengetahui Martabat Memimpin

Pengetahuan dalam hal sebagai pemimpin tidaklah dapat diperoleh sebelum mampu menjaga martabat diri. Bila seseorang menjadi pemimpin, kata-katanya akan dipegang dan tingkah lakunya teladan orang. Maka pengetahuan tentang seorang pemimpin akan diperoleh apabila ia telah mampu menjaga martabat dirinya sendiri.

Pengetahuan tentang martabat pemimpin, berkenaan dengan knowledge seseorang dalam memahami hakikat kepemimpinan. Bila menjadi pemimpin, seseorang harus mampu menjadi penyalur aspirasi orang-orang yang dipimpinnya, menjadi pancang kemaslahatan, dan mampu meruntuhkan kebatilan. Oleh sebab itu, martabat pemimpin sering dikaitkan dengan kemampuannya dalam memimpin. Bila seorang pemimpin tidak mampu melaksanakan dan menyelesaikan berbagai soalan kehidupan bermasyarakat secara arif dan bijak, maka pada kondisi itu ia dikatakan tiada bermartabat menjadi seorang pemimpin.

3. Menjaga Martabat Orang Lain

Pemimpin adalah orang yang mampu menjaga martabat orang lain. Sebut saja dalam kasus kejahatan yang dilakukan seseorang misalnya, penyelesaian yang dilakukan pemimpin harus mampu menjaga nama baik orang yang melakukan kesalahan tersebut. Tidak merendahkan dan menghukum melebihi kesalahan yang dilakukannya. Pemimpin yang bijak mesti mendahulukan nasihat dari pada menyalahkan. Tunjuk Ajar Melayu memberitahukan bahwa pemimpin sebagai orang yang mampu melindungi orang-orang yang dipimpinnya:

menjadi pemimpin hendaklah penyantun

yang muda dibimbing, yang tua dituntun

Kepada pemimpin diharapkan mampu membimbing, melindungi, menjaga, dan menuntun masyarakat. Bimbingan tidak hanya untuk kepentingan hidup duniawi, tetapi juga mencakup kepentingan untuk ukhrawi. Pemimpin demikian tentunya akan melahirkan kesejahteraan lahiriah serta batiniah bagi orang-orang yang dipimpin dan bangsa-bangsa lain yang ada dalam negeri yang ia pimpin.

4. Mempertahankan Martabat Wilayah

Bila kampung tidak memiliki hutan, maka dapat dikatakan bahwa kampung tersebut kehilangan muruah (marwah). Kepemimpinan Melayu wajib mempertahankan martabat wilayah, termasuk hutan, sungai atau laut, tanah, dan lain sebagainya. Dalam ungkapan tunjuk ajar Melayu dikatakan bahwa pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang mampu mempertahankan muruah negeri:

kalau hendak tahu pemimpin sejati

tengoklah ia memimpin negeri

C. Syarat Menjadi Pemimpin
Syarat menjadi pemimpin dalam budaya Melayu merujuk pada syarat menjadi pemimpin dalam Islam. Dalam ungkapan tunjuk ajar Melayu, memilih pemimpin mesti karena tabliq, fathanah, amanah, dan shidiq. Keempat syarat tersebut dituangkan dalam tunjuk ajar Melayu, sebagai berikut:

Kalau hendak memilih pemimpin: 
Pilihlah karena budinya
Pilihlah karena lakunya
Pilihlah karena budi bahasanya
Pilihlah karena adilnya
Pilihlah karena benarnya
Pilihlah karena taat setianya
Pilihlah karena petuah amanahnya
Pilihlah karena tenggang rasanya
Pilihlah karena tegur sapanya
Pilihlah karena ikhlas hatinya
Pilihlah karena mulia ilmunya
Pilihlah karena tanggung jawabnya
Pilihlah karena iman takwanya
Pilihlah karena lapang dadanya
Pilihlah karena bijak akalnya
Pilihlah karena sifat tuanya
Pilih karena cergas rajinnya

1. Shidiq
Sifat shidiq tergambar dalam kepribadian seseorang yakni pada perilaku, perkataan, perbuatan, dan tindakannya dapat dipercaya. Sikap jujur dianggap sebagai suatu keberanian mengakui kebenaran apa adanya. Maka, seorang pemimpin Melayu diharuskan memiliki sifat shidiq agar suara kebaikan tetap lantang terdengar dalam hidup dan kehidupan orang Melayu secara menyeluruh. 

Pada dasarnya kejujuran merupakan fondasi yang kokoh dan mendasari iman seseorang tetap terjaga. Jika dari hal yang kecil saja ia sudah terlatih untuk jujur maka untuk urusan yang lebih besar ia pun akan takut berbuat curang. Ketakutan pada Allah sebagai dasar dan akan membuat seorang pemimpin menjadi berani melakukan sesuatu yang benar demi mendapatkan rida Allah. Dengan demikian kesejahteraan rakyat yang dipimpin akan terus meningkat. Dari keberanian itu pula akan menghasilkan kepempimpinan yang berwibawa, berintegritas, dan ditaati oleh orang yang dipimpinnya.

2. Amanah
Hakikat amanah yaitu menjaga dan menjalankan kewajibannya. Sifat amanah, taat, setia, teguh pendirian, dan ter­percaya amat dihormati orang Melayu, orang tua-tua Melayu mengatakan, bahwa sifat amanah mencerminkan iman dan takwa, menunjukkan sikap terpercaya, menunjukkan tahu tanggungjawab, jujur dan setia. Oleh karenanya, setiap ang­gota masyarakat dituntut memiliki sifat-sifat tersebut, supaya hidupnya beroleh berkah dan sejahtera. 

Dalam ungkapan di­katakan, orang amanah membawa tuah, orang amanah membawa marwah, dan orang amanah dikasihi Allah. Un­gkapan lain menyebutkan, siapa hidup memegang amanah, dunia akhirat beroleh berkah, dan siapa hidup memegang amanah, kemana pergi tidakkan susah.

Sebaliknya, orang yang tidak amanah dianggap ing­kar, tak dapat dipercaya, dan tidak bertanggung jawab. Orang ini tidak mendapat tempat yang layak dan dijauhi masyarakat. Dalam ungkapan dikatakan, siapa tidak memegang aman­ah, tanda dirinya tidak semenggah dan siapa hidup tidak amanah, hidup celaka mati menyalah.

Dalam tunjuk ajar Melayu, petuah tentang amanah amat banyak. Mengutamakan amanah dalam setiap soalan kehidupan adalah penanda kemelayuan. Melanggar amanah dianggap sebagai merusak kemelayuannya sendiri. Padanya dianggap sebagai seseorang yang tiada boleh dikatakan sebagai Melayu.

3. Fathanah, Cerdas atau Berilmu
Fathanah dapat diartikan secara umum sebagai cerdas atau kecerdikan dan kebijaksanaan. Sifat kecerdasan yang dimiliki oleh semua manusia berkaitan dengan pemikiran dan pengalaman (pendidikan).  Maka, kepada pemimpin, diharapkan memiliki kecerdasan dan memiliki ilmu yang luas. Dengan kecerdasan tersebut, pemimpin diharapkan mampu menyelesaikan soalan sosial kemanusiaan secara arif. Kebijakan yang dibuat berdasarkan pengetahuan tentu jauh lebih baik dibandingkan dengan kebijakan tanpa pengetahuan.

Pemimpin mesti memiliki akal yang panjang dalam menyelesaikan soalan yang dihadapi. Penyelesaian yang dilakukan didasari dengan keadilan dan tidak tergantung pada orang lain. Pemimpin cerdik terbentuk secara alami melalui perjalanan hidup seseorang, sehingga mampu menumbuhkan rasa kemandirian dan kecermatan dalam memimpin.

4. Tabliq
Pemimpin adil akan menciptakan rasa nyaman dan aman dalam kehidupan bermasyarakat. Perlakuan pemimpin yang mengutamakan keadilan dalam setiap persoalan kehidupan menjadi tiang tonggak keutuhan bermasyarakat. Sifat tabliq juga memiliki arti komunikatif. Seseorang yang memiliki sifat tabligh akan menyampaikan dengan benar dengan tuturan yang tepat. 

Keadilan wujud jika pemimpin bersikap saling mengayomi antara kaum tua serta muda, puak juga resam, negeri-negeri, dan sebagainya. Dengan demikian, melalui kejujuran tersebut akan mampu menghilangkan kecemburuan sosial, meningkatkan kekukuhan masyarakat, serta mendapat banyak sokongan untuk kebaikan dan keberlangsungan dalam kehidupan bermasyarakat.

Dari keempat syarat menjadi pemimpin di atas, beberapa kategori pemimpin dapat dibedakan menjadi pemimpin amal (pemimpin yang menjadikan jabatannya sebagai ladang ibadah), pemimpin jantan (pemimpin yang mempunyai sifat berani), pemimpin jujur (pemimpin yang memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah), pemimpin asin (pemimpin yang mengatakan hal sebenarnya tanpa menutup-nutupi atau berusaha terlihat baik), pemimpin asuh (pemimpin yang menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya, rela berkorban, dan arif dalam bertindak), pemimpin cerdik (pemimpin yang panjang akalnya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi pada saat menjadi pemimpin), pemimpin lurus (pemimpin yang mampu melindungi negerinya dari berbagai macam permasalahan), pemimpin sabar (pemimpin yang sabar dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat), pemimpin abdi (pemimpin yang menjalankan asas manfaat), dan pemimpin acu (pemimpin yang selalu menyampaikan segala hal dengan mengacu pada perintah agama). Keseluruhan kategori pemimpin tersebut akan diperoleh apa bila keempat syarat tersebut dapat dipenuhi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *