Nyanyian Pengantar Tidur “Nandung Kreasi”

Nandung. (foto: lamriau.id)

A. Pengertian
Nandung merupakan penyebutan nyanyian sebagai pengantar tidur pada anak. Secara harfiah, nandung berarti nyanyian, alunan, lagu, atau irama (dengan maksud yang mendengar merasa terbuai) yang dibawakan sebagai pengantar (membujuk) tidur. Maknanya mendekati arti senandung, namun memiliki ruang yang lebih sempit. Nundung hanya untuk menidurkan anak, sedangkan senandung termasuk nyanyian untuk diri sendiri. Nandung juga terikat dengan kaidah-kaidah yang diharuskan mengadung nilai-nilai ataupun nasihat-nasihat bijak.

Jika didefinisikan, maka nandung bisa diartikan sebagai nyanyian dengan suara lembut untuk menidurkan (membujuk) anak yang mengandung nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut bisa berupa ajaran-ajaran agama, nasihat, kasih sayang, harapan-harapan, kritikan, kerinduan ataupun keluh kesah yang diucapkan secara langsung ataupun melalui perumpamaan-perumapaan.

Bacaan Lainnya

B. Teks Nandung

Nandunglah nandung meniti hari
Angan berlabuh di inderagiri
Di laman langit bintang menari
Berkampung diri menepis sunyi

Rumah rinduku di tebinglah sungai
Bayangan rimbun daun menggunung
Kisahan buih pecah berderai
Mimpi mengapung di bulan menggantung

Kayuhlah kayuh jalur ke hulu
Berdayungkan semangat ke hala tuju

Tetapkan hatii ke negeri hikayat
Persemaian kasih subur isyarat

Nandunglah nandung dendang didendang
Mengukir budii alam terbentang

Dendang lama kami warisi
Tak ‘kan melayu hilang di bumi

Kuantan belumlah bernama kuantan
Sungai keruhlah dahulunya

Keistimewaan nandung selain mengandung kata-kata yang bernilai sastra, juga memiliki lagu dan irama yang mendayu-dayu sendu membuat suasana hati terharu. Jika dilantunkan pada malam atau tengah hari, nyanyiannya sayup-sayup terdengar menggugah hati, termasuk juga orang dewasa.

Nandung  tidak memiliki irama baku. Namun dalam pratiknya setidaknya ditemukan beberapa irama berbeda yang sering digunakan. Irama-irama tersebut tidak diberi nama khusus sehingga hanya dikenali dengan nadanya saja. Lirik-lirkknya mirip susunan pantun. Ada sampiran dan ada isi. Hanya saja dalam nandung ada kata-kata ekstra yang diulang-ulang, seperti filler word atau bunyi penyisip yang berfungsi sebagai harmonisasi bunyi yang dinamik.

C. Penyajian
Di dalam penyajian, nandung dituturkan seorang perempuan terutama ibu atau kerabat perempuan ibu lainnya dan jarang dilakukan oleh kaum laki-laki. Stereotip perempuan sebagai penutur tidak saja bentuk kedekatan emosional keluarga ibu di dalam pola pengasuhan tetapi juga harapan agar sifat-sifat kelembutan seorang ibu (perempuan) diharapkan mendominasi dalam karakter individu sang anak. Perempuan (ibu) sebagai sosok yang jauh lebih dekat kepada anak dibanding lelaki (ayah), merupakan posisi yang sangat dimuliakan dalam lingkungan komunal sekaligus dalam sistem matrilineal yang dianut pendukungnya, perempuan adalah titik lahir yang akan mewarisi suku kepada anak-anaknya.

Stereotip perempuan sebagai penutur juga dipengaruhi dengan adanya pola pembagian kerja yang penempatan perempuan sebagai subordinat lelaki. Perempuan hanya boleh melakukan pekerjan-pekerjaan ringan yang tidak membutuhkan keahlian tertentu atau fisik yang kuat. Dalam pembagian kerja misalnya, kaum perempuan adalah pekerja kedua (melanjutkan) setelah lelaki membuka tanah pertanian. Seorang perempuan yang bekerja di luar batas-batas kemamapun ‘keperempuannya’, maka saudara laki-laki atau sang suami akan dianggap sebagai orang tak tahu adat atau tak beradat. Anggapan tersebut menjadikan perempuan lebih banyak di rumah yang memunculkan pemikiran bahwa perempuan adalah ‘penunggu rumah’ dan mengasuh anak, dan lelaki adalah ‘penguasa luar’ dan bekerja. Sehingga walaupun tidak ada ketentuan atau syarat khusus siapa saja yang boleh atau tidak menjadi penutur, namun perempuan ditempatkan sebagai penutur dibandingkan dengan laki-laki yang tidak diharuskan untuk melakukannya.

Rujukan:
1999. Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, edisi kedua cetakan pertama, Selagor: Dewan Bahasa dan Pustaka
2013. Derichard H. Putra “Nandong untuk Anakku.” Tesis. Jogyakarta: Antropologi Universitas Gadja Mada

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *