Tuanku Tambusai

Tuanku Tambusai. (foto: dok. kemensos)

Tuanku Tambusai merupakan pahlawan nasional dari Riau. Ia diberi julukan oleh Belanda De Padriesche Tijger Van Rokan (Harimau Paderi dari Rokan). Nama kecilnya Muhammad Saleh, lahir dari seorang ayah bernama Imam Maulana Kali yang berasal dari Rambah, Rokan Hulu dan ibu dari Tambusai, Rokan Hulu. 

Semenjak kecil Muhammad Saleh mempunyai sifat pendiam dan cerdas. Ia mendapatkan pendidikan agama di Bonjol, dan mensyiarkan Islam di Tambusai, Rokan Hulu. Sejak itu, ia dikenal dengan Pakih Saleh.

Bacaan Lainnya

Wazir Kerajaan Tambusai, Sutan Mahmud, memberikan dorongan kepada Pakih Saleh untuk mendirikan surau tersendiri yang terpisah dengan Negeri Lama, ibu kota Kerajaan Tambusai. Daerah yang dipilih adalah sebelah hilir negeri lama. Tempat ini diberi nama Dalu-dalu. Di surau yang baru, Pakih Saleh melanjutkan dakwahnya dengan memberikan pengajian dan ilmu keagamaan.

Penjajah Belanda yang ikut campur urusan penyebaran Islam, menyebabkan Pakih Saleh menggunakan kekuatan untuk melawan Belanda. Pada waktu ini namanya mulailah dikenal sebagai Tuanku Tambusai.

Perang yang dilakukan Belanda untuk menghancurkan Kaum Paderi dan menaklukkan Minangkabau membangkitkan amarah Tuanku Tambusai. Ia membentuk pasukan di Padanglawas, Sumatra Utama yang sebagiannya adalah murid-muridnya sendiri. 

Setelah Belanda dapat merebut Bonjol dan Rao bulan September 1832, Residen dan Komandan Militer Belanda, Letnan Kolonel Elout, membujuk Tuanku Tambusai agar menyerah. Bujukan ini dijawab secara halus oleh Tuanku Tambusai agar Belanda kembali saja ke daerah pantai dan tidak mencampuri urusan dalam negeri orang lain. Karena Elout tidak ingin menyerahkan daerah yang telah dikuasainya, maka Tuanku Tambusai berkata kepada Elout, “Sediakanlah bedil”. Semenjak itu perlawanan Tuanku Tambusai terhadap Belanda selalu dalam posisi menyerang atau diserang.

Tuanku Tambusai melakukan penyerangan terhadap Benteng Belanda bernama Fort Amerogen di Rao.  Setelah serangan selesai, ia menarik pasukannya ke Angkola. Dalam serangan ini, tentara Belanda tewas 11 orang dan luka-luka 24 orang. Pihak Tuanku Tambusai luka-luka 25 orang, termasuk Tuanku Tambusai sendiri.

Tuanku Tambusai memperkirakan bahwa perlawanan menentang Belanda akan berlangsung lama. Ia menyadari bahwa perdamaian tidak mungkin diadakan dengan Belanda, karena perdamaian yang ditawarkan hanya akan berakhir dengan jebakan. Satu-satunya jalan adalah berjuang secara terus-menerus. Perjuangan harus dikokohkan dengan membuat benteng pertahanan di daerah asalnya Dalu-dalu. 

Di Dalu-dalu, Tuanku Tambusai membangun benteng yang kuat dan besar. Benteng ini mempunyai tujuh lapis dengan bentuk bundar. Lapisan yang paling dalam mempunyai garis tengah lebih kurang 500 meter. Pada setiap lapisan dilingkari parit dengan kedalaman lebih kurang 10 meter. Pada lapisan paling luar dibuat pintu berlapis tiga dengan menghadap ke barat, terbuat dari papan-papan tebal. Setiap lapis mempunyai rahasia tersendiri untuk penyimpanan senjata, makanan, dan sebagainya. Di sekitar benteng ditanam aur berduri agar musuh tidak mudah mendekat. Benteng utama ini diberi nama Kubu Aur Berduri.

Di bagian barat benteng utama dibangun pula dua benteng, masing-masing bernama Kubu Baling-Baling dan Kubu Gedung. Kubu Baling-Baling terletak di daerah yang agak tinggi. Kubu Gedung lebih besar dari Kubu Baling-Baling.

Melihat perlawanan gigih yang diperlihatkan oleh Tuanku Tambusai, Belanda membujuk Tuanku Tambusai untuk duduk di meja perundingan. Pada 31 Juli 1834, Residen Francis berunding dengan wakil-wakil yang dikirim oleh Tuanku Tambusai. Ia tidak hadir karena menyadari tidak ada gunanya berunding dengan Belanda. Dalam perundingan ini wakil-wakil dari Tuanku Tambusai menegaskan agar Belanda menarik diri dari tanah Mandailing, Sumatra Utara. Perundingan ini akhirnya mengalami kegagalan.

Pada awal tahun 1835, Tuanku Tambusai dapat menguasai daerah Bonjol dan Rao dari pendudukan Belanda. Pada Juli 1835 ia juga melakukan serangan terhadap Belanda di Padangmatinggi. 

Di beberapa daerah yang rakyatnya dipengaruhi oleh Belanda, Tuanku Tambusai dapat membangkitkan kembali semangatnya untuk menentang Belanda. Pasukan Belanda yang berasal dari Jawa juga tidak lupat dari pengaruh Tuanku Tambusai.

Tuanku Tambusai meninggal di sebuah kampung kecil sembilan batu dari Kampung Rasah, Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia.

Rujukan:
Derichard H. Putra, dkk. 2024. Budaya Melayu Riau untuk SMA/SMK/MA Kelas X. Pekanbaru: Penerbit Narawita.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *