Rawang Tengkuluk

Rawang Tengkuluk. (Sumber gambar: Derichard H. Putra. 2024. Budaya Melayu Riau Kurikulum Merdeka untuk SD/MI Kelas I. Pekanbaru: Penerbit Narawita)

Syahdan, di sebuah dusun kecil di negeri Teratak. Tersebutlah seorang gadis cantik nan jelita. Ia bernama Sarianun.  

Sarianun berparas bak bulan purnama kesiangan. Rambutnya bergelombang laksana mayang terurai.

Bacaan Lainnya

Ayah Sarianun sudah lama dipanggil Yang Kuasa. Ia hidup bersama emaknya. 

Mereka tinggal di sebuah rumah panggung kecil nan sempit. Rumah itu berada di pinggir sungai.

Setiap hari, Sarianun dan emaknya bekerja di ladang. Mereka menanam padi dan sayur-sayuran. Ladang mereka tidak terlalu luas. Ladang itu peninggalan ayah Sarianun.

Mereka juga sering mencari ikan di pinggir sungai di dekat rumahnya. Ikan-ikan ditangkap dengan lukah dan tangguk. Hasil tangkapan digunakan untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Jika tangkapan mencukupi, sebagian di jual ke pasar.  Hasil penjualan ikan akan digunakan untuk membeli garam dan gula.

Suatu hari, sebuah kapal besar milik bangsawan berlabuh tak jauh dari di pinggir dusun mereka. Bangsawan biasanya menyerahkan bantuan makanan dan pakaian untuk orang-orang dusun. Jika sedang panen, mereka juga membeli hasil ladang dengan harga yang tinggi.

Hari itu ternyata membawa berkah bagi Sarianun. Seorang anak bangsawan menyukainya. Ia ingin Sarianun menjadi istrinya. Merekapun akhirnya menikah. 

Sarianun bahagia. Maknya juga bahagia. Tapi, Mak Sarianun tetaplah seorang perempuan tua yang baik hati pada semua orang. Ia tidak meninggalkan pekerjaannya di ladang.

Tapi, Sarianun menginginkan emaknya meninggalkan ladang mereka. Sarianun malu maknya masih bekerja di ladang. 

Suami Sarianun kembali pergi berlayar. Ia meninggalkan Sarianun dan emaknya. Ia berpesan kepada Sarianun untuk menjaga emak dan membantunya di ladang.

Sepeninggal menantunya, emak Sarianun merasakan kesusahan mengolah ladang. Kini tidak ada lagi yang membantu menaikkan bakul-bakul besar berisi padi ke atas pondok. 

Suatu hari, emak Sarianun bersiap-siap pergi ke ladang. Ia hendak menuai padi yang telah menguning. Ia mengajak Sarianun ke ladang.

Sarianun merasa berat hati dan malu. Ia berpikir istri seorang bangsawan tidak seharusnya pergi ke ladang. Tapi, Sarianun akhirnya pergi juga. Ia teringat pesan suaminya untuk membantu emak di ladang.

Hari sudah hampir petang. Padi-padi yang sudah di tuai terkumpul di dalam kembut. Tapi, Sarianun tidak mau membawa kembut-kembut padi.

“Emak… cobalah Emak berpikir, aku ini istri bangasawan. Mana mungkin harus membawa kembut padi ini!” ujar Sarianun marah.

“Nak, derajat seseorang tidak ditentukan oleh kekayaan. Tapi kemuliaan dan kerendahan hati,” nasihat mak Sarianun.

Namun, Sarianun tak mendengarkan perkataan emaknya. Ia terus berjalan dengan gaya congkak dan sombong. Ia tidak mengindahkan nasihat emakmya.

Tiba-tiba, tanah yang dipijak Sarianun terasa lembut. Separuh tubuhnya kemudian terbenam ke dalam bumi. 

“Mak, tolong Mak!,” rintih Sarianun

Emak Sarianun mendekat dan menarik tangan anaknya. Ia menarik sekuat  tenaga. Tapi, tubuh Sarianun semakin terbenam, dan akhirnya lenyap di telan bumi.

Mak Sarianun menangis sedih. Ia mengambil tengkuluk Sarianun yang tidak ikut tenggelam. 

Tempat Sarianun tenggelam, dan tengkuluknya yang tertinggal, kini dinamakan Rawang Tengkuluk.

Rujukan: Derichard H. Putra. 2024. Budaya Melayu Riau Kurikulum Merdeka untuk SD/MI Kelas I. Pekanbaru: Penerbit Narawita

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *