Hikayat Awang Sulung Merah Muda

Buku Hikayat Awang Sulung Merah Muda. (foto: guruku.kosabudaya.id)

Lalu ia menemui dan bertanya pada Dayang Nermah. Dayang Nermah menjawab,

“Bahwa Awang Merah Muda sudah sampai di kuala Sungai Air Balang.” Tetapi Mak Sikancing tidak percaya sebab ia tidak diberitahu Awang akan datang. Dayang Nermah menjawab lagi.

Bacaan Lainnya

“Baru sebentar tadi saya mendengar suara bansi Abang. Siapa lagi yang meniup bansi dan menaruh buluh perindu seperti yang dipunyai Abang, dan lagu itu pula yang sering dikumandangkan sewaktu dia bersama-sama kita beberapa waktu lalu. Tidakah Mak ingat? Kalau Mak enggan percaya, tunggulah dia akan meniupnya sekejap lagi, karena sudah dua kali lagu itu dibunyikan,” ujarnya.

Benar saja tak lama setelah itu Mak Sikancing pun mendengar bunyi itu. Mereka berdua pun bertangis-tangisan. Akhirnya Mak Sikancing berujar; “Sudahlah. Biarlah abangmu saja yang membuat perhitungan dengan Awang Bungsu,” tegas Mak Sikancing.

Setelah itu prosesi pernikahan terus dilanjutkan. Dayang Nermah pun melaksanakan upacara berinai besar. Keduanya sangat rapat menyimpan rahasia sehingga tak tampak kalau hati keduanya sedang gundah tak menentu. Karena hati Mak Sikancing tidak jua tenang, maka esok paginya, ia segera mengambil perahu dan didayung ke kualu sungai air balang untuk menjenguk Awang. Di sana didapatinya Awang sedang duduk terpekur. Dari pembicaraan itu tahulah Mak Sikancing bahwa sejak tadi malam Awang Merah Muda sudah datang ke rumah mereka, tetapi karena takut merusak suasana maka ia melihat saja dari jauh. “Awang dari tadi malam sudah berada di sini hendak menghadiri. Tapi terasa berat rasanya takut disebut pengacau suasana” 

Mendengar itu Mak Sikancing segera menjawab.
“Mak tak pernah menganggap ananda sebagai pengacau, tetapi sebaliknya. Lebih-lebih Dayang Nermah sangat merindukanmu. Biar apapun yang terjadi, mujur lalu melintang patah kehadiranmulah yang Mak utamakan,” jelas Mak Sikancing.

Awang Merah Muda senang hatinya mendengar hal itu. Lalu ia berkata,

“Pulanglah Mak dulu, Awang akan menyusul di belakang”

Maka Mak Sikancing pun memutar haluan sampan menuju Sungai Alam. Tak lama Awang pun datang ke pesta penikahan adiknya. Namun perangainya sangat aneh. Ia tak menyentuh sedikitpun juadah yang dihidangkan. Dalam diam ternyata ia menulis sepucuk surat yang dikirimkan ke pihak Awang Bungsu. 

Mendapat surat, Awang Bungsu bukan main marahnya. Bukannya berhenti ia pun justru bersiap menemui Awang Merah Muda, orang yang telah lancang menghambat niatnya untuk memperistri Dayang Nermah. Sesampainya di tempat Dayang Nermah awalnya situasinya baik-baik saja, seperti layaknya pihak perempuan menyambut kedatangan pihak laki-laki. Namun di tengah balas-balasan pantun itu Awang Merah Muda pun menyela. Maka pertarungan keduanya tak dapat terhindarkan.

Awang Bungsu bersenjatakan sebuah keris dan Awang Merah Muda hanya bersenjata sarung keris saja. Melihat perkelahian ini, Mak Sikancing dan Dayang Nermah, hanya terdiam menahan hati. Maka pertaruang yang menegangkan pun terjadi. Akhirnya Awang Merah Mudalah yang menang sedang Awang Bungsu meninggal ditikam kerisnya sendiri. Melihat kematian ini maka pulanglah kembali pihak laki-laki ke Senderak dengan membawa kelukaan dan luka hati yang dalam. Sementara acara pernikaha terus dilanjutkan oleh Awang Merah Muda. Dengan demikian resmilah Awang Merah Muda menjadi suami Dayang Nermah. Meski begitu pesta pernikahan yang awal mulanya meriah berubah menjadi pesta yang penuh kengerian, dan duka di satu pihak.

Beberapa hari setelah pernikahan, Awang Merah Muda kemudian menceritakan sekaligus meminta izin pada Mak Sikancing untuk membawa Dayang Nermah ke tanah Jawa. Ia juga menyampiakan maksud kedatangannya selain untuk menjemput Dayang Nermah juga untuk menurunkan Lancang Kuning.

Mengenai Lancang Kuning yang lama terbengkalai penurunannya ternyata menghendaki syarat yang berat yaitu tujuh orang bunting sulung, daun gendar rusa, daun ati-ati, daun jenjuang, juga daun ribu-ribu dan bedak tepung tawar. Di antara syarat itu, yang paling sulit adalah mendapatkan syarat pertama yaitu tujuh orang bunting sulung yang tentu saja menyebabkan keharuan dari keluarga-keluarga yang istrinya terpaksa mendapat tugas berat. Pengumpulan ini memakan waktu yang lama yaitu sampai bermingu-minggu.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *