Adat Melayu Riau

Mengaji. Anak-anak mengaji dengan penerangann seadanya di dusun mereka yang berada di kaki Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. (foto: kosabudaya.id)

Hal ini menysebabkan pelaku bid’ah atau perusak hukum Allah Swt. dan Rasul-Nya diancam dengan azab yang pedih. Sementara hukum Allah Swt. pada jagat raya ini telah memperlihatkan dirinya sebagai sifat-sifat alam semula jadi yang disebut sunatullah, misalnya adat buluh bermiang, adat tajam melukai, adat air membasahi, adat api membakar, dan seterusnya. Bagi manusia berlakulah hukum alam, adat muda menanggung rindu, adat tua menanggung ragam.

Di dalam ungkapan, adat yang sebenar adat disebutkan:
adat berwaris kepada Nabi
adat berkhalifah kepada Adam
adat berinduk ke ulama
adat bersurat dalam kertas
adat tersirat dalam sunah
adat dikungkung kitabullah
itulah adat yang tahan banding
itulah adat yang tahan asak
adat terconteng di lawang
adat tak lekang oleh panas
adat tak lapuk oleh hujan
adat dianjak layu diumbut mati
adat ditanam tumbuh dikubur hidup
kalau tinggi dipanjatnya
bila rendah dijalarnya
riaknya sampai ke tebing
umbutnya sampai ke pangkal
resamnya sampai ke laut luas

Bacaan Lainnya

2. Adat yang Diadatkan
Adat yang Diadatkan adalah hukum, norma atau adat buah pikiran leluhur manusia yang piawai, yang kemudian berperan untuk mengatur lalu lintas pergaulan kehidupan manusia. Meskipun adat yang diadatkan ini merupakan seperangkat norma dan sanksi hasil gagasan leluhur yang bijaksana, tetapi sebagai karya manusia, tetap rusak (berubah) oleh ruang dan waktu serta oleh selera manusia dalam zamannya. Itulah sebabnya meskipun adat rancangan leluhur ini dipelihara dan dilestarikan, tetapi terbuka peluang untuk disisipi, ditambah dan dikurangi, agar tetap dapat menjawab tantangan kehidupan masyarakatnya.

Contoh adat yang diadatkan misalnya Datuk Demang Lebar Daun dan Raja Sang Sapurba telah merancang asas kehidupan kerajaan atau negara yang berbunyi “Raja tidak menghina rakyat dan rakyat tidak durhaka kepada raja”. Adat ini memberi dasar yang kokoh terhadap nilai demokrasi di alam Melayu yang telah memberikan kedudukan yang seimbang antara pihak pemerintah (raja) dengan pihak yang diperintah (rakyat).

Contoh lainnya adalah ketetapan yang dibuat oleh Datuk Kaya (leluhur Melayu tua Suku Laut). Ia membuat adat atau aturan tentang pembagian hasil hutan dan laut. Bagi anak negeri yang mengambil hasil hutan dan laut sebatas keperluan sendiri (tidak diperjualbelikan) tidak ada cukai atau pungutan dari lembaga adat. Bagi orang luar serta anak negeri yang mengambil untuk diperdagangkan, berlaku adat sepuluh satu. Maksudnya, kalau diambil sepuluh, maka satu diserahkan kepada lembaga adat. Sedangkan terhadap hasil sarang burung layang-layang berlaku undang (adat) sepuluh lima. Jika diambi sepuluh, lima di antaranya hams diserahkan kepada lembaga adat. Cukai atau pancung inilah lembaga adat mendorong swadaya masyarakat membuat pelantar pelabuhan, jalan sepanjang kampung, membuat masjid, surau dan madrasah, sehingga masyarakat mampu mengurus dirinya sendiri.

Begitu juga adat yang ditetapkan oleh Datuk Demang Serail leluhur Melayu Petalangan (Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan) membuat adat pembagian hasil madu lebah yakni dua dua satu. Dua bagian untuk tukang panjat yang mengambil madu lebah pada pohon sialang, yakni kemantan dan pembantunya. Dua bagian untuk warga suku di mana ulayat batang sialang (tempat lebah bersarang) berada dan satu bagian lagi untuk orang patut negeri atau dusun tersebut.

Di samping itu, Datuk Demang Serail, juga membuat ketentuan denda terhadap siapa saja yang menebang pohon sialang dengan alasan yang tiada munasabah. Pelampau itu didenda dengan kain putih sepanjang pohon sialang yang ditebangnya.

Datuk Laksamana Raja di Laut, leluhur Kerajaan Siak telah mengatur selat dan laut serta tentang penangkapan ikan terubuk. Selanjutnya, Datuk Perpatih membuat adat mengenai pesukuan, sehingga pewarisan pemangku adat seperti penghulu, monti dan hulubalang, menurut garis suku yang diungkapkan dalam pepatah pusako turun dari mamak, turun kepada kemenakan. Hal ini menyebakan nikah kawin berlaku antar suku, sebab pihak yang sesuku dipandang bersaudara. Hal ini berbeda dengan Datuk Ketumanggungan yang membuat asas pergantian pemimpin berdasarkan garis darah (keturunan) yang diungkapkan dalam pepetah pusako turun pada anak, sesuai dengan hukum syarak.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *