Agresi Militer Belanda I dan II di Riau

Pada 29 Desember 1948 itu juga, Riau pesisir terutama Bengkalis dan Selatpanjang, diserang Angkata Laut Belanda. Gempuran berjam-jam dari Belanda dengan kekuatan dua kapal perang Fregat, tiga kapal pendarat dan satu kapal barang, dibantu pesawat udara, menyebabkan pasukan Indonesia di Bengkalis misalnya, terpaksa menghindar. Mereka bertahan di kampung-kampung, sedangkan kota telah dikuasai musuh. Tentara Indonesia memperoleh tambahan kekuatan, ketika Letnan II Soebrantas dengan 87 anggotanya dari Rupat, mendarat di Meskom yang langsung melakukan konsolidasi dengan pasukan di bawah pimpinan Letnan Masnur dan Letnan I Iskandar.

Begitu pula Belanda, mereka juga mendatangkan bala bantuan terutama mendatangkan pesawat tempur ke Bengkalis. Tak ayal lagi, pertempuran terjadi. Pasukan Indonesia kemudian terkonsentrasi ke  Desa Pedekik. Kekompakan pasukan Indonesia dengan masyarakat di desa ini, menyebabkan Belanda kucar-kacir sampai meninggalkan Pedekik meskipun tujuh orang dari pihak pejuang dijemput ajal. Cuma sejak saat itu pula, Belanda makin memperkatat patroli mereka atas Bengkalis yang menyebabkan TNI harus bergerilya dari kampung ke kampung.

Bacaan Lainnya

Pos Indonesia di Tanjunglayang Siak, diserang, malahan mengalami puncaknya pada 29 Desember 1949. Hal ini bermula dari tembak-menembak yang acapkali terjadi antara Belanda dengan tentara Indonesia di Sungaiapit di bawah pimpinan Letnan Nasrun. Gerakan musuh memasuki Siak, dihadang tembakan TNI di  bawah pimpinan Letnan Abbas Djamil. Tak lengah lagi, hanya berselang sehari kemudian, kota ini diserang dari udara. Malahan sepekan kemudian, Belanda memperkuat militernya dengan mendatangkan dua kapal.

Pada 30 Desember 1948, Belanda  menyerang Tembilahan. Langit kota ini dibelah oleh sebuah pesawat udara musuh, malah menjatuhkan dua bom, setelah memutari kota berkali-kali. Beberapa hari kemudian, tepatnya 4 Januari 1949, Tembilahan diserang dari sungai, seiringan dengan munculnya empat kapal perang musuh, beriringan dengan kemunculan dua pesawat tempur yang melakukan penembakan ke seluruh penjuru. Tak berhenti di sini, mereka menyerbu Perigi Raja, Kuala Enok, dan Pulau Kijang. Kedua nama tempat yang disebut terakhir ini dipertahankan habis-habisan oleh tentara Indonesia di bawah pimpinan Letnan II M. Boya. Malahan sosok pimpinan ini gugur sebagai bunga bangsa sewaktu mempertahankan Kuala Enok.

Pekanbaru juga mulai diserang dari Bangkinang pada 1 Januari 1949 yang tidak saja perang senjata, tetapi juga perang urat syaraf dengan menebarkan selebaran kejatuhan Yogyakarta. Baru tanggal 4 Januari 1949 kapal-kapal Belanda tiba di Pekanbaru, membawa dua kompi pasukan KNIL. Pasukan-pasukan Indonesia tetap melakukan perlawanan walaupun sifatnya sporadis, sedangkan Belanda senantiasa berpatroli dengan melakukan pembersihan-pembersihan di sekitar kota. Pasukan-pasukan Indonesia mengepung Pekanbaru dari pinggir kota, sehingga hubungan tentara Belanda dengan induknya di Sumbar terputus. Jalan menuju Sumbar dari Pekanbaru dikuasai oleh pasukan Indonesia (Taufik Ikram Jamil, dkk. 2018).

Penyerbuan besar-besaran Belanda terhadap Riau terjadi di Rengat dengan kekuatan lebih dari satu kompi, dibantu 2-7 pesawat udara. Hal ini disebabkan asumsi musuh yang senantiasa dilayani pertempuran terbuka sejak 1946 dan ditemuinya beberapa kapal pribumi yang membawa senjata di Sungai Inderagiri. Selama tiga hari, langit Rengat, Airmolek dan Telukkuantan, seolah-olah dikoyak oleh pesawat musuh. Puncaknya tanggal 5 Januari 1949, pagi sekitar pukul 07.00, dua pesawat mustang Belanda muncul dari tenggara kota. Pesawat-pesawat tersebut menembak dan melempar granat ke kota. Penyerangan udara diiringi dengan penerjunan pasukan melalui tujuh pesawat Dakota.

Meskipun menggunakan senjata seadanya, tentara, polisi, dan rakyat terlihat tidak gentar menghadapi serbuan Belanda itu. Pasukan TNI yang mempertahankan kota antara lain kompi di bawah pimpinan Letnan Darmawel Achmad, bahu-membahu dengan semua elemen bangsa mempertahankan Rengat. Tak sedikit korban jiwa dari pihak musuh, tetapi dari pihak Indonesia sekitar 2.000 orang termasuk Bupati Inderagiri, Tulus. Banyaknya korban terutama disebabkan, Belanda memang menembak secara membabi-buta tanpa memandang sasaran kawasan militer atau sipil.

Belanda tak henti-hentinya berusaha meluluh-lantakkan Indonesia yang disambut TNI maupun masyarakat dengan perlawanan paripurna. Senyap beberapa bulan setelah Rengat diserbu dengan menewaskan sektar 2.000 jiwa, Belanda melakukanpendaratan dan pendudukan di Sungaiapit pada Maret 1949. Berkekuatan satu kompi, mereka mendarat yang didahului tembakan senapan mesin dan mortir dari kapal. Mampu menimbulkan kapanikan masyarakat, mereka tidak mengejar tentara Indonesia yang berusaha bertahan di pinggir kota setelah bertempur sebelumnya. Sebaliknya, Belanda membuka pos-pos di dalam kota untuk berjaga-jaga dari serangan balasan TNI.

Rujukan:
Taufik Ikram Jamil, Derichard H. Putra, Syaiful Anuar. 2020. Pendidikan Budaya Melayu Riau untuk SMA/SMK/MA Kelas XI. Pekanbaru: Penerbit Narawita
Taufik Ikram Jamil, dkk. 2018. Buku Sumber Pegangan Guru Pendidikan Budaya Melayu Riau. Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu Riau.
Derichard H. Putra, dkk. 2024. Budaya Melayu Riau untuk SMA/SMK/MA Kelas XI. Pekanbaru: Penerbit Narawita.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *