Alam dalam Pandangan Budaya Melayu Riau

Sungai Inderagiri (foto: guruku.kosabudaya.id)

Keempat kawasan menjadi pananda ruang kultural dalam pembagian alam dalam saujana perkampungan Melayu. Pembagian ruang saujana ini selalu menjadi batas wilayah dan penamaan perkampungan. Misalnya kampung hulu yaitu kampung yang berada di hulu dan  kampung hilir yakni kampung yang berada di hilir. Batasan yang lebih luas tampak pada Riau Pesisir dan Riau Daratan, Rokan Hilir dan Rokan Hulu, Inderagiri Hilir dan Inderagiri Hulu. Penamaan perkampungan Melayu tidak menggunakan arah mata angin seperti di Pulau Jawa misalnya Jawa Timur, Jakarta Selatan, dan lainnya.

Keberadaan hulu-hilir dan pesisir/baruh-darat pada dasarnya merujuk kepada kawasan perairan yaitu sungai atau laut. Sejak masa lalu, kawasan ini menjadi pusat aktivitas sosial budaya dan titik dari setiap peradaban Melayu. Aktivitas tersebut seperti  ritual dan upacara, berbual di tepian mandi (mencarikan jodoh untuk anak atau keponakan), pusat ekonomi, transportasi, dan berbagai tradisi seperti mandi berlimau, pacu jalur, dan perahu baganduang. Sungai dijadikan sebagai timang-timangan negeri. Kerusakan sungai merupakan cerminan kehancuran negeri.

Bacaan Lainnya

C. Alam dan Hutan-Tanah
Alam sebagai wilayah budaya adalah hutan dan tanah sehingga sering disebut hutan-tanah. Istilah ini merujuk kepada keseluruhan kawasan yang menjadi ruang hidup dan kehidupan masyarakat Melayu. Fungsi dan pembagian ruang hutan-tanah dikelola secara ketat melalui lembaga kekuasaan tradisional yang disebut dalam ungkapan tali berpilin tiga (adat, ulama, pemerintah) yang berurat-berakar dalam komunitas, baik yang berbentuk kerajaan/kesultanan, maupun adat/kedatuan.

Batang Sialang (foto: guruku.kosabudaya.id)

Satuan wilayah yang berbentuk kerajaan/kesultanan, maka pengelolaan dan distribusi disahkan oleh raja/sultan, sehingga kepemilikannya disebut hutan-tanah kayat. Istilah kayat merujuk pada pengertian hikayat yaitu kisahan/naratif yang berisikan penjelasan tertulis riwayat pengalihan kekuasaan pengelolaan atas hutan-tanah dari raja/sultan kepada pribadi maupun komunitas. Pada masa Hindia-Belanda, tanah kayat ini disebut grant Sultan.

Satuan wilayah yang berbentuk pemerintahan adat, maka satuan wilayah tersebut disebut hutan-tanah ulayat. Hutan-tanah ini milik komunal (suku/pesukuan, dan pebatinan), yang pengaturannya dikuasakan kepada pimpinan/datuk-datuk adat. Pembagian dan distribusi pengelolaan atau kepemilikannya ke dalam lanskap fungsional di atas ditentukan melalui musyawarah tali berpilin tiga yang diadakan oleh pimpinan adat. Hutan-tanah ulayat yang tidak dialihkan kepada pribadi (anak-kemenakan suku/pebatinan), statusnya tetap sebagai tanah ulayat.

1. Penanda Eksistensi dan Marwah
Hutan-tanah beserta unsur-unsur di dalamnya adalah legitimasi dari harkat dan martabat masyarakat Melayu. Keberdaaannya menjadi penanda eksitensi dan simbol marwah, sehingga ketiadaan atau kerusakan alam pada dasarnya adalah kehilangan dari eksistensi dan marwah tersebut. Suatu kaum, puak, atau suku yang tidak lagi memiliki hutan-tanah, maka disebut sebagai masyarakat terbuang, hidup menumpang dan dipandang malang.

Tunjuk ajar Melayu menjelaskan sebagai berikut:
Barangsiapa tidak berhutan-tanah
hilang tuah habislah marwah
Apabila hutan-tanah sudah hilang
hidup hina marwah terbuang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *