Dongeng Melayu Riau

Buku Cerita Rakyat Daerah Riau. (foto: folklor.kosabudaya.id)

Struktur dongeng terdiri dari lima unsur intrinsik yaitu:

1) Tema, merupakan ide pokok dari cerita dan merupakan patokan untuk membangun suatu cerita.
2) Alur, merupakan jalan cerita yang diurutkan berdasarkan sebab akibat ataupun berdasarkan urutan waktu.
3) Penokohan, merupakan proses penampilan tokoh dengan pemberian watak dan sifat.
4) Latar, merupakan salah satu unsur pembentuk cerita yang menunjukkan diman dan kapan rangkaian cerita itu terjadi
5) Amanat, merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui cerita yang dibuatnya.

Bacaan Lainnya

Ciri-ciri dongeng sebagai berikut:
a) Mengunakan alur sederhana
b) Cerita singkat dan bergerak cepat
c) Karakter tokoh tidak diuraikan secara rinci, dan
d) Ditulis seperti gaya penceritaan secara lisan. 

C. Contoh Dongeng
Contoh dongeng yang terdapat di Riau adalah Si Lancang, Dedap Durhaka, Lancang Sapo Ago, Putri Tujuh, Kancil dan Harimau, Si Umbut Muda, Putri Kaca Mayang, Putri Hijau, dan Rawang Tengkuluk. Untuk melihat dongeng lainnya, bisa klik pada tautan ini: kumpulan dongeng.

Si Lancang
Pada masa dulu di daerah Kampar, tinggallah seorang pemuda bernama Si Lancang. Ia tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Mereka tinggal disebuah gubuk kecil di pinggir Batang Kampar.

Emak Si Lancang bekerja sebagai penggarap lahan orang, sementara Si Lancang menggembala hewan peliharaan milik tetangganya.

Suatu hari, Si Lancang minta izin kepada emaknya untuk pergi merantau mencari uang. Dengan hati yang berat dan rasa sedih, emaknya pun akhirnya mengizinkan si Lancang tersebut pergi merantau. Setelah merantau sekian lama, akhirnya si Lancang pun sukses menjadi seorang saudagar yang kaya raya. Kapal dagangnya berpuluh jumlahnya, anak buahnya cukup banyak dan istrinya pun sangat cantik jelita. 

Suatu hari si Lancang pun mengajak istrinya untuk pergi berdagang ke tanah Andalas. Setelah perbekalan dan barang dagangan siap, berangkatlah mereka berlayar di lautan, hingga akhirnya kapal si Lancang yang megah tersebut merapat ke kawasan Sungai Kampar, yakni kampung halaman si Lancang sendiri. Penduduk pun berdatangan hendak melihat bagaimana bentuk kapal si Lancang yang megah tersebut. Banyak penduduk yang masih mengenali wajah si Lancang. 

“Wah si Lancang rupanya yang datang! Megah sekali kapalnya, sudah jadi orang kaya raya,” kata guru mengaji si Lancang. Dia lalu bergegas memberitahukan kedatangan si Lancang tersebut kepada Emak si Lancang yang saat itu sedang terbaring sakit di gubuknya. Alangkah bahagianya emak si Lancang mendengar kabar kedatangan anaknya. Dengan mengenakan pakaian yang sederhana, ia pun berjalan tertatih menuju ke pelabuhan untuk melihat langsung kedatangan putra kesayangannya tersebut.

Setibanya di pelabuhan, emak si Lancang ingin cepat-cepat menemui si Lancang. Ia pun berusaha menaiki kapal milik anaknya. Namun usaha tersebut dihalangi oleh anak buah kapal si Lancang. Emak pun kemudian menjelaskan bahwa ia adalah ibu dari si pemilik kapal tersebut.

Namun tanpa diduga, si Lancang tiba-tiba muncul sambil berkata, “Bohong! Dia bukan emakku. Usir dia dari kapalku!” teriak si Lancang. Rupanya si Lancang malu untuk mengakui kondisi ibunya yang sudah tua dan miskin tersebut. 

“Oh… Lancang…. Anakku, ini Emak. Emak sangat merindukanmu,” jerit emak si Lancang di sela-sela semilir angin.

“Usir perempuan gila itu dari kapalku!” perintah si Lancang. Anak buah kapal si Lancang pun mengusir emak sambil mendorong tubuh tua renta tersebut. Emak jatuh terjerembab. Dengan hati yang sangat sedih, emak pulang ke gubuknya. Sepanjang jalan ia terus menangis karena merasa sangat sedih dengan kelakuan anaknya. 

Sesampai di gubuknya, Emak langsung mengambil lesung dan nyiru. Emak memutar-mutar lesung dan mengipasinya dengan nyiru sambil berkata, “Ya Tuhanku, si Lancang telah aku lahirkan dan aku besarkan dengan air susuku. Namun setelah menjadi orang kaya, dia tidak mau mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhanku, tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!”

Tiba-tiba saja kondisi cuaca berubah dan turun hujan yang sangat lebat. Petir pun menggelegar dan menyambar kapal milik si Lancang, selanjutnya gelombang Sungai Kampar menghantam kapal tersebut. Kapal si Lancang pun hancur berkeping-keping.

“Emaaaak, aku si Lancang anakmu pulang. Maafkan aku, Maaak,” terdengar sayup-sayup teriakan suara si Lancang. Akhirnya si Lancang pun tenggelam bersama kapalnya yang megah tersebut. Barang-barang yang ada di kapal berhamburan dihempas badai. 

Kain sutra yang dibawa si Lancang sebagai barang dagangan terbang melayang-layang kemudian jatuh berlipat-lipat dan menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Sebuah gong terlempar jauh dan jatuh di dekat gubuk Emak si Lancang di Air Tiris Kampar kemudian menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang terletak berdekatan dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak tersisa. Bila sekali waktu tiang bendera itu muncul ke permukaan yang menjadi pertanda bagi masyarakat Kampar akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir itulah air mata si Lancang yang menyesali perbuatannya yang durhaka kepada Emaknya.

Rujukan:
Derichard H. Putra. 2024. Budaya Melayu Riau Kurikulum Merdeka untuk SD/MI Kelas I. Pekanbaru: Penerbit Narawita.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *