Jati Diri Melayu Riau

Mengaji. Anak-anak mengaji dengan penerangan seadanya di dusun Aurkuning di kaki Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. (foto: kosabudaya.id)

3. Bahasa Melayu
Berbahasa Melayu adalah memaknai nilai-nilai dan kaidah-kaidah moral di dalam bahasa Melayu. Nilai-nilai dan kaidah Bahasa Melayu selalu dikaitkan dengan budi sehingga sering disebut budi bahasa. Sebutan ini juga selaras dengan peribahasa bahasa menunjukkan bangsa yang bermakna sifat dan tabiat seorang dilihat dari tutur kata dan bahasa. Bangsa di dalam ungkapan ini berarti orang baik-baik, orang berbangsa, ataupun orang yang berderajat. Orang yang mempunyai kedudukan tinggi (derajat) tentu akan berbahasa pada patutnya.

hendak mengenal orang berbangsa
lihat kepada budi bahasa
(Raja Ali Haji: Gurindam 12)

Bacaan Lainnya

Budi bahasa menjadi peran penting sehingga selalu dijaga dalam tuntunan tentang kata dan ungkapan. Tinggi rendah budi seseorang diukur dari cara berkata-kata. Seseorang yang mengeluarkan kata-kata yang salah akan menjadi aib baginya, seperti kata pepatah “Biar salah kain asal jangan salah cakap”. Sehingga, budi bahasa menjadi penanda lahiriah orang, puak, kaum, suku, dan bangsa Melayu. 

Di dalam Kesantunan Melayu, 2010:1, Tenas Effendy menjelaskan sebagai berikut: 

berbuah kayu rindang daunnya
bertuah Melayu terbilang santunnya
elok kayu karena daunnya
elok Melayu karena santunnya.

Dalam penggunaan bahasa Melayu, terdapat empat derajat yang selalu menjadi tolak ukur dalam adab berbahasa.

a. Bahasa Mendaki
Kata mendaki digunakan untuk bertutur sapa terhadap orang tua-tua yang harus dihormati dan disegani. Orang tua-tua dalam hal ini tidak saja terbatas tua dalam artian umur, tetapi juga kepada guru, pimpinan, ataupun rasi yang lebih tinggi yaitu saudara yang secara umur lebih muda tetapi secara garis keturunan lebih tinggi, misalnya adik ibu yang usianya lebih muda. Di dalam interaksi sehari-hari, penggunaan kata mendaki hendaklah terkesan meninggikan martabat atau dengan gaya menghormati.

b. Bahasa Mendatar
Kata mendatar yakni cara berkomunikasi terhadap teman sebaya. Pola kata mendatar diperbolehkan bebas memakai kata-kata dan gaya. Mulai dari gaya terus terang, jenaka, kiasan bahkan saran dan sindiran ataupun kritik. Namun, bukan berarti gaya bahasa ini dapat berbicara sesuka hati tapa melihat situasi dan kondisi dari lawan berbicara. Nilai-nilai sopan santun tetap dijaga untuk menghindari kemungkinan menyakiti teman sebaya tersebut. 

c. Bahasa Melereng
Kata melereng merupakan adab berbicara dengan orang semenda. Di dalam adat kata melereng, seseorang tidak diperbolehkan berbicara secara bebas atau langsung. Orang semenda dalam masyarakat adat, di samping dipanggil dengan gelar juga dipakai gaya berkias atau kata perlambangan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga perasaan orang semenda tersebut. 

d. Bahasa Menurun
Kata menurun yakni cara berkomunikasi dengan kanak-kanak atau kepada orang yang usianya lebih muda. 

Empat derajat berbahasa tersebut harus diimbangi dengan tindakan berbahasa yang santun, yakni mencakup kemampuan memilih kata (kesesuaian bahasa dengan pikiran dan perasaan yang hendak dikemukakan), dan kearifan merangkai kata. Dari tindakan berbahasa seseorang dapat ditentukan apakah ia tergolong orang yang santun atau tidak.  

Rujukan:
Elmustian Rahman, dkk. 2012. Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau.
Derichard H. Putra, dkk. 2024. Budaya Melayu Riau untuk SMA/SMK/MA Kelas XI. Pekanbaru: Penerbit Narawita.
Taufik Ikram Jamil, Derichard H. Putra, Syaiful Anuar. 2020. Pendidikan Budaya Melayu Riau untuk SMA/SMK/MA Kelas XI. Pekanbaru: Penerbit Narawita.
TIM LAMR. 2018. Buku Sumber Pegangan Guru Pendidikan Budaya Melayu Riau. Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu Riau.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *