Kearifan Melayu dalam Pemanfaatan Alam

Sungai Siak. (foto: guruku.kosabudaya.id)

A. Pengertian
Kearifan bearti kebijaksanaan; kecendekiaan, sedangkan pemanfaatan alam adalah suatu aktivitas yang dilakukan untuk menggunakan sumber daya alam secara efektif dan efisien dalam memenuhi keperluan ekonomi. Pemanfaatan melibatkan suatu proses yang lebih luas termasuk ekstraksi, pengolahan, distribusi, dan konsumsi.

Pemanfaatan alam dalam budaya Melayu merujuk kepada pemanfaatan yang bersifat kultural yaitu alam terkembang menjadi guru. Orang Melayu membaca lingkungan alamnya, mengekplorasi, menjelajahi, menelisik serta mengakrabi dalam relasi-relasi yang saling berkaitan dan sejajar. Hasil interakhir melahirkan falsafah-falsafah yang bersemanyam dalam berbagai genre-genre sastra.

Bacaan Lainnya

Di dalam ungkapan dijelaskan sebagai berikut:
orang Melayu itu berakal
bila duduk duduk berguru
bila tegak tegak bertanya
bila merantau mencari ilmu
bila berjalan mencari teladan
bila berkayuh mencari contoh
bila ke darat mencari ibarat
bila ke laut mencari yang patut
bila ke tengah mencari yang semenggah
bila ke tepi mencari yang berbudi
bila ke hulu mencari yang tahu
bila ke hilir mencari yang mahir

Pemanfaatan bersifat kultural menjadikan alam dieksplorasi dalam batas-batas kemampuan alam dalam merawat dirinya sendiri. Alam dimanfaatkan namun pada satu sisi dalam pemanfaatan tersebut juga terdapat pemeliharaan.

Kearifan tersebut dijelaskan dalam pepatah-petitih sebagai berikut:
tebasnya tidak menghabiskan
tebangnya tidak memusnahkan
bakarnya tidak membinasakan
makan jangan menghabiskan
minum jangan mengeringkan

B. Ruang Kehidupan
Masyarakat Melayu menempati ruang kehidupan (alam lingkungan) dalam suatu kawasan yang disebut hutan-tanah. Kawasan ini merupakan satuan wilayah adat yang dimiliki oleh suatu masyarakat hukum adat dalam sistem hak-hak adat Melayu Riau. Hutan-tanah diatur secara ketat melalui lembaga kekuasaan tradisional yang disebut dalam pepatah tali berpilin tiga (adat, ulama, pemerintah). Hutan-tanah terdiri atas empat bagian yaitu tanah perkampungan, rimba, tanah peladangan, dan kawasan perairan

1.  Tanah Perkampungan
Tanah perkampungan diperuntukan sebagai tempat membangunan permukiman. Kawasan ini terdiri atas beberapa bagian yaitu tanah pekarangan, teratak, dusun, tanah koto, tanah pekuburan, padang penggembalaan dan tanah kandang. Setiap bagian memiliki fungsinya masing-masing.

Tanah pekarangan berfungsi untuk membangun rumah. Tanah koto digunakan sebagai tempat membangun masjid, balai adat,  rumah adat, dan lamat silat. Teratak dipergunakan sebagai tempat berkebun untuk menanam berbagai keperluan rumah tangga misalnya tanaman obat, buah-buahan berumur tahunan, bumbu masak seperti lengkuas, kunyit, cekur. Dusun berfungsi untuk berkebun tanaman keras atau pohon yang memerlukan waktu lebih dari satu tahun seperti durian, duku, nangka, petai, manggis, dan rambutan. Tanah pekuburan digunakan sebagai tempat pemakaman yang digunakan oleh anggota masyarakat. Tanah pekuburan terdiri dari pekuburan kampung dan pekuburan yang dimiliki suku. Padang penggembalaan digunakan sebagai tempat menggembalakan dan melepaskan hewan ternak, dan tanah kandang sebagai tempat untuk membangun kandang hewan ternak.

2. Rimba 
Rimba adalah suatu kawasan hutan belantara yang berfungsi sebagai tempat simpanan air, flora dan fauna. Kawasan ini diklasifikasikan dalam tiga bagian yaitu rimba larangan, rimba cadangan, dan rimba kepungan sialang. Rimba larangan merupakan rimba yang dilindungi secara adat yang tidak diperbolehkan untuk membangun pemukiman, perkebunan, dan perladangan. Rimba cadangan merupakan rimba yang diperbolehkan dibuka untuk tanah peladangan dan perkebunan. Rimba kepungan sialang merupakan rimba tempat tumbuh pohon sialang yang diperuntukkan sebagai lebah untuk bersarang. Pohon-pohon yang berada di rimba kepungan sialang menjadi tempat bermain bagi lebah untuk mengumpulkan sari-sari bunga dalam proses pembentukan madu.

3. Tanah Peladangan
Tanah peladangan berfungsi sebagai tempat berladang padi dan berkebun, serta berbagai tanaman semusim seperti jagung, kacang-kacangan, sayur-sayuran, dan ubi-ubian. Kawasan ini dibuka dari rimba cadangan dan tidak diperbolehkan dibuka dari rimba larangan ataupun rimba kepungan sialang.

Ladang ataupun kebun yang dibuka dari tanah peladangan menjadi milik individu sehingga bisa diwariskan kepada anak-cucu. Namun, pada beberapa komunitas adat seperti Petalangan dan Talang Mamak, ladang atau kebun hanya boleh dipinjam-pakai. Sehingga, apabila tidak digunakan lagi, maka tanah ladang ataupun kebun kembali menjadi miliki adat, dan bisa digunakan oleh anggota masyarakat yang lain. Pemanfaatan tanah peladangan di atur secara ketat oleh penghulu adat.

4. Kawasan Perairan
Kawasan perairan adalah suatu wilayah yang di dalamnya terdapat perairanan seperti laut, sungai, danau, tasik, bencah, dan lainnya. Setiap komponen kawasan perairan memiliki peran dan fungsi masing-masing. Sungai selain sumber ekonomi penghasil ikan juga berfungsi sebagai penghubung ekonomi dalam lalu lintas transportasi antar kampung dan mengangkut hasil alam serta pertanian. Danau menghasilkan ikan selain sungai, sedangkan bencah adalah lahan cadangan pertanian terutama dalam menanam padi basah.

C. Fungsi Alam dalam Budaya Melayu  
Alam sebagai wilayah budaya adalah hutan dan tanah sehingga sering disebut hutan-tanah. Istilah ini merujuk kepada keseluruhan kawasan yang menjadi ruang hidup dan kehidupan masyarakat Melayu. Fungsi dan pembagian ruang hutan-tanah dikelola secara ketat melalui lembaga kekuasaan tradisional yang disebut dalam ungkapan tali berpilin tiga (adat, ulama,  pemerintah) yang berurat-berakar dalam lingkungan komunal, baik yang berbentuk kerajaan/kesultanan, maupun adat/kedatuan. 

Hutan-tanah di dalam budaya Melayu mengandung tiga fungsi yaitu penanda eksisten dan marwah, sumber falsafah dan dinamika kebudayaan, dan sumber nafkah. Fungsi-fungsi hutan-tanah tersebut merupakan salah bentuk kearifan Melayu dalam pemanfaatan alam. 

1. Penanda Eksistensi dan Marwah
Hutan-tanah beserta unsur-unsur di dalamnya adalah legitimasi dari harkat dan martabat masyarakat Melayu. Keberdaaannya menjadi penanda eksitensi dan simbol marwah, sehingga ketiadaan atau kerusakan alam pada dasarnya adalah kehilangan dari eksistensi dan marwah tersebut. Suatu kaum, puak, atau suku yang tidak lagi memiliki hutan-tanah, maka disebut sebagai masyarakat terbuang, hidup menumpang dan dipandang malang. Tunjuk ajar Melayu menjelaskan sebagai berikut: 

Barangsiapa tidak berhutan-tanah
hilang tuah habislah marwah
Apabila hutan-tanah sudah hilang
hidup hina marwah terbuang. 

Pemanfaatan dan pengelolaan hutan-tanah diatur secara melalui lembaga kekuasaan tradisional yang disebut dalam pepatah tali berpilin tiga (adat, ulama, pemerintah). Lembaga ini secara turun temurun menjaga hutan-tanah dari  ini telah berurat-berakar dalam komunal, baik yang berbentuk kerajaan atau kesultanan, maupun kedatuan atau perbatinan. 

2. Sumber Falsafah dan Dinamika Kebudayaan 
Hutan-tanah merupakan sarang-sarang budaya yang menjadi asas kearifan lokal yang kemudian mewujud dalam berbagai bentuk khasanah budaya seperti pantun, syair, nandung, dan petatah-petitih. Beragam khasanah budaya tersebut merupakan sumber tunjuk ajar yang menjadi falsafah (pandangan hidup/penuntun) bagi orang Melayu. Hutan-tanah dengan beragam unsur-unsur pembentuknya adalah guru sebagai tempat belajar yang disebutkan di dalam ungkapan, alam terkembang jadi guru. 

Tunjuk ajar Melayu menjelaskan sebagai berikut:

apabila hidup hendak senonoh
hutan-tanah dijadikan contoh
apabila hidup hendak selamat
hutan-tanah jadikan ibarat
apabila hidup hendak berilmu 
hutan-tanah jadikan guru
apabila hidup hendak terpuji 
hutan-tanah disantuni. 

Selain sebagai sumber falsapah, hutan-tanah juga menjadi dinamika kebudayaan Melayu. Hal ini terlihat dari hukum adat yang menjadi sandaran dan sendi kehidupan orang Melayu tergantung dari ekosistem sungai dan hutan yang terawat dan terpelihara. Lingkungan alam yang mengalami perubahan fungsi, maka akan mengilangkan landasan hukum tersebut. Selain itu, hukum-hukum adat yang terekam dan tersimpan secara lisan, juga akan mengalami penyusutan makna dan konteks. 

tanda orang memegang adat 
alam dijaga petuah diingat
tanda orang memegang amanah
pantang merusak hutan-tanah
tanda orang berpikiran panjang
merusak alam ia berpantang

3. Sumber Nafkah

Hutan-tanah beserta isinya adalah sumber nafkah dalam pemenuhan keperluan hajat hidup. Di dalam tunjuk ajar disebutkan,

kalau tidak ada laut hampalah perut 
bila tak ada hutan binasalah badan
kalau binasa hutan yang lebat
rusak lembaga hilanglah adat

Pemanfaatan hutan-tanah sebagai sumber nafkah tidak  dieksploitasi dengan sesuka hati. Keseimbangan yang bersumber dari kesadaran bahwa manusia dan lingkungan alam adalah sesama makhluk, dan oleh karena itu seharusnya hidup serasi (harmonis), saling memberi, bukan saling meniadakan.

makan jangan menghabiskan 
minum jangan mengeringkan
kalau makan berpada-pada
kalau minum berhingga-hingga 
apabila mengolah hutan-tanah
jaga-pelihara jangan memunah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *