Kepengarangan Sastra Melayu Riau

Nandung Inderagiri dalam suatu festival di Rengat. (foto: guruku.kosabudaya.id)

Raja Ali Haji lahir di Pulau Penyengat Inderasakti pada 1809, dari ayah yang bernama Raja Ahmad Engku Haji Tua ibni Raja Haji Fi Sabilillah dengan seorang puteri Selangor bernama Hamidah. Ia wafat di Pulau Penyengat diperkirakan pada 1873. Beberapa tulisan lain menerangkan bahwa Raja Ali Haji diperkirakan wafat pada tahun 1872. 

2. Tenas Effendy
Tengku Nasyaruddin Effendy lahir di Kuala Panduk, Pelalawan pada 9 November 1936, dan meninggal di Pekanbaru, 28 Februari 2015. Ia adalah budayawan dan sastrawan besar bangsa Melayu. Sebagai seorang sastrawan, Effendy telah banyak membuat makalah, baik untuk simposium, lokakarya, diskusi, maupun seminar, yang berhubungan dengan Melayu. Tahun 2019 Tenas Effendy dianugerahi Bintang Mahaputra Nararya dari Presiden Republik Indonesia.

Bacaan Lainnya

Penguasaannya tentang makna filosofis yang terkandung dalam benda-benda budaya dipelajarinya secara otodidak sejak kecil. Ayahnya, Tengku Sayed Umar Muhammad adalah sekretaris Sultan Hasyim dari Kerajaan Pelalawan. Sejak kecil ia sudah terbiasa hidup dalam lingkungan budaya Melayu yang kental serta adat istiadat istana yang begitu kuat. Kondisi ini telah mendorongnya untuk belajar memahami dan kemudian menulis tentang kebudayaan Melayu. 

Tenas Effendy menulis kembali pantun-pantun, petata-petitih, ungkapan, syair, gurindam, dan segala macam yang berkenaan dengan kebudayaan Melayu. Ia sedikitnya telah menulis 70-an buku dan ratusan makalah. Satu di antara karyanya yang fenomenal adalah Tunjuk Ajar Melayu (TAM) yang menjadi rujukan tentang budi pekerti di negara-negara serumpun.

3. Ediruslan Pe Amanriza
Ediruslan Pe Amanriza lahir di Bagasiapiapi, 17 Agustus 1947. Ia merupakan seorang sastrawan dan penulis yang produktif. Ediruslan pernah memenangi sayembara mengarang roman Indonesia yang ditaja Dewan Kesenian Jakarta selama lima tahun berturut-turut. Karya tersebut adalah Jembatan (Kekasih Sampai Jauh) (1976), Nakhoda (1977), Ke Langit (1978), Koyan (1979), dan Panggil Aku Sakai (1980). 

Karya-karya Ediruslan yang lain adalah kumpulan puisi  Vagabon (1975),  Surat-suratku kepada GN (1981), Khatulistiwa, Antara Mihrab dan Bukit Kawin bersama Taufik Ikram Jamil (1992).  Karya berupa roman, Di Bawah Matahari,  Jakarta Dimanakah Sri? (1982), Taman, (1983). Karya berupa buku yaitu Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya (1986),  Sejarah Perjuangan Raja Haji Fi Sabilillah (1988), Koba: Sastra Lisan Orang Riau (1989), dan Dikalahkan Sang Sapurba (2000).

Ediruslan juga menulis puluhan cerpen yang dimuat dalam berbagai buku. Beberapa karya tersebut adalah Pertemuan Kedua, bersama sejumlah cerpenis Singapura-Johor-Riau (1995), Renungkan Markasan (1997), Sang Pemburu(1995), Nek Selasih (1992), Rahasia Seorang Suami (1995), Joget Hutan (1994), Renungkanlah Markasan (1997), Perjalanan Musim Panas (1975), Tuah (1997), Sawang Kepungan Sialang (1995), Sepasang Sepatu Kecil (1982), dan Malapetaka.

4. Hasan Junus 
Hasan Junus lahir di Pulau Penyengat, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 12 Januari 1941 dan meninggal di Pekanbaru, Riau, 30 Maret 2012. Beberapa karya yang dilahirkan adalah Burung Tiang Seri Gading (1992), Tiada Mimpi Lagi (1998), Sekuntum Mawar Untuk Emily (1998), Cakap-Cakap Rampai-rampai dan Pada Masa Ini Sukar Dicari (1998), Kematian Yang Lain (1999), Dari Saudagar Bodoh dan Fakir yang Pintar Menuju yang Mendunia (1999), Pengantin Boneka (Cerpen), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Jeanette Linagrd dan diterbitkan oleh Oxford University Press (1995), Mencari Junjungan Buih karya Sastra di Riau (1999), Tiga Cerita Sandiwara Melayu (2001), Raja Haji Fisabilillah Hannibal dari Riau (2000), Cerita-cerita Pusaka Kuantan Singingi, karyanya bersama Fakhri (2001) Pelangi Pagi (1999), Furu’al-Makmur (1996), Pelangi Pagi (1992), Pohon Pengantin dan Cermin Nyiyin Almayer. 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *