Keragaman Upacara Adat Melayu Riau

Mandi Damai dalam upacara pernikahan Melayu Riau. Gambar diperagakan model dalam Seminar Upacara Adat Melayu Riau.(foto: kosabudaya.id)

B. Bentuk-bentuk Upacara Adat
Jika dilihat dari bentuk, upacara adat dapat dikelompokan dalam dua bagian yaitu  upacara dalam sistem kemasyarakatan, dan upacara dalam daur hidup. 

1. Upacara dalam Sistem Kemasyarakatan
a) Tepuk Tepung Tawar
Tepuk tepung tawar adalah doa keselamatan atau tolak bala yang tujukan kepada seseorang yang mengalami masa peralihan.  Upacara ini biasanya dilaksanakan sebelum upacara utama misalnya pada sunat rasul, pernikahan, dan turun mandi, atau pada kegiatan-kegiatan seremonial lainnya seperti penabalan sultan dan  pelantikan pemimpin.

Bacaan Lainnya

Peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan upacara meliputi tepung tawar, mangkuk atau cawan tempat daun-daun tepung tawar, beberapa helai daun setawar, daun sedingin, beras dan kunyit. Beras dan kunyit digiling halus kemudian diberi sedikit air, lalu dimasukkan ke dalam mangkuk. Daun setawar dan daun sedingin diikat menjadi satu dan diletakkan bersama dengan air kunyit dan beras.

Dalam upacara kehamilan, tepuk tepung tawar dimulai dari bidan yang merenjiskan tepung tawar lebih dulu kepada calon ibu. Bidan memegang ikatan daun tepung tawar yang telah dibasahi campuran air beras kunyit lalu ditepuk-tepukkan ke dahi, bahu kanan, bahu kiri, tangan kanan dan kiri, dan ujung kaki kanan dan kiri. Tiap bagian badan yang ditepuk hanya sekali. 

b) Manjopou Limau
Manjopui limau adalah upacara menjemput racikan limau di rumah seorang gadis yang akan digunakan untuk mandi balimau untuk menyambut Idul Fitri. Upacara manjopui limau merupakan bagian dari prosesi awal pernikahan di Kenegerian Lubukjambi Rantau Kuantan.

Prosesi manjopui limau dimulai  saat seorang bujang tertarik dengan seorang gadis yang bertemu dengannya saat batobo. Bujang yang memiliki ketertarikan tersebut akan meminta si gadis untuk membuat racikan limau yang nantinya akan digunakan untuk mandi balimau ketika menyambut Idul Fitri. Permintaan tersebut dilakukan melalui titian sosok (orang ketiga yang berfungsi sebagai perantara). Titian sosok pula yang mengatur anak tobo lain untuk bersama-sama membuat perahu baganduang.

Ketetapan apakah bujang akan meminang si gadis ditentukan dua bulan kemudian, atau pada saat lebaran hari raya haji. Pada saat itu, mangkuk yang dijadikan sebagai tempat racikan air limau (yang dijemput pada upacara manjopui limau)  akan diisi dengan minuman yang diantar oleh si bujang bersama dengan anak tobo yang lain. Jika sang bujang berkeinginan memperistri si gadis, maka ia akan melanjutkan pertemuan berikutnya dengan mengantar kain panjang, kain baju, dan sebuah cincin atau gelang. Namun, jika si bujang tidak berkeinginan meminang si gadis, ia cukup menghatarkan mangkuk racikan limau saja. 

Pada akhir 80-an, perahu baganduang juga digunakan sebagai perahu untuk membawa tamu dalam setiap pelaksanaan pacu jalur di Telukkuantan. Sejak 1996, perahu baganduang mulai dilombakan dalam festival perahu baganduang yang dilaksanakan di Kampung Koto Kenegerian Lubuk Jambi. Festival ini dilaksanakan pada minggu pertama setelah Hari Raya Idul Fitri atau pada 8 Syawal. Peserta festival berasal dari setiap kampung yang berada dalam Kenegerian Lubuhjambi. Setiap parahu baganduang akan menjemput limau dari salah seorang gadis. 

c) Manjalang Mamak 
Manjalang mamak secara harfiah berarti ‘mengunjungi paman’ yaitu upacara yang bertujuan untuk mempererat hubungan kekerabatan adat pada suatu keluarga seperut dalam satu suku yang sama. Keluarga seperut adalah keluarga yang memiliki garis keturunan ibu yang sama. Manjalang mamak dilakukan oleh anak cucu kemanakan dengan manjalang (mengunjungi) ninik-mamak yang dilaksanakan sekali dalam setahun.

Manjalang mamak dilaksanakan pada hari raya kedua Idul Fitri. Para kemenakan berkumpul di Rumah Dalam soko masing-masing kemudian berarak menuju rumah Datuk Ulak Semano. Selanjutnya secara berarak menuju Rumah Godang soko Melayu dan kembali lagi ke Rumah Dalam. Saat berada di Rumah Godang dan Rumah Dalam, disampaikan pepatah petitih yang disebut basiacuong. Setelah upacara selesai, dilanjutkan dengan upacara Togak Tonggar yaitu menaikkan tonggul (bendera) suku masing-masing.

Setiap ninik mamak memakai pakaian adat masing-masing, termasuk imam, khatib, dan bilal. Mereka duduk sesuai dengan kedudukan masing-masing. Upacara manjalang mamak diikuti seluruh suku dan koto (negeri) yang ada di wilayah Kesultanan VIII Koto Setingkai. 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *