Makan Berhidang Melayu Riau

Makan berhidang harian. (foto: jadesta.kemenparekraf.go.id)

A. Pengertian
Makan berhidang adalah makan bersama yang dilaksanakan dalam keluarga atau pada saat upacara adat. Makan berhidang telah menjadi tradisi yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Melayu Riau. Tradisi ini sudah dilakukan secara turun temurun.

Pelaksanaan makan berhidang akan mengekalkan kekerabatan dan menjalin hubungan silahturahmi yang erat antar anggota hidang. Makan berhidang juga dimaksudkan sebagai bentuk kebersamaan seperti yang disebutkan dalam ungkapan makan sepinggang duduk setikar.

Bacaan Lainnya

Dalam Tunjuk Ajar Melayu, filosofi makan berhidang diuraikan sebagai berikut:
Seperiuk nasi jangan mencaci
Sepiring makan jangan menyeman
Sekelambu jangan cemburu
Setikar jangan mendakar
Selapik jangan mengusik
Sebaya jangan aniaya
Sepermainan jangan memakan
Seatap jangan menyelap
Sesampan jangan mengabaikan
Seperahu jangan memberi malu

Makan berhidang biasanya dilaksanakan di ruang induk (ruang keluarga atau ruang utama). Makanan dihidangkan kemudian anggota hidang duduk melingkari makanan dengan bersila dan perempuan dengan duduk bersimpuh di lantai.

Dilihat dari waktu pelaksanaan, makan berhidang dapat dibagi dalam dua bentuk yaitu makan berhidang harian dan makan berhidang pada upacara adat.

1. Berhidang Harian
Makan berhidang harian disebut juga makan berhidang dalam keluarga. Makan berhidang ini dilaksanakan saat makan harian misalnya makan siang atau makan malam, menyambut tamu, ataupun pada hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Makan berhidang harian diikuti oleh keluarga inti ataupun keluarga besar.

2. Berhidang pada Upacara Adat
Makan berhidang pada upacara adat sering juga disebut makan bajambau (Kampar), mendoa (kuantan), dan makan basamo (Rokan). Makan berhidang dilaksanakan sekaligus menjadi bagian dari suatu upacara adat misalnya dalam majelis perkawinan, akikah, sunat rasul, memperingati 7 hari, 40 hari, 100 hari kematian, dan penabalan pemimpin suku atau ninik mamak.

Makan Berhidang dalam upacara perkawinan (foto: guruku.kosabudaya.id)

Prosesi makan berhidang dimulai dengan pepatah-petitih dari pucuk pimpinan suku yang menjadi pelaksana makan berhidang. Pepatah-petitih menjelaskan maksud pelaksanaan upacara, sambutan atau ucapan terimakasih kepada jemputan, dan ditutup dengan mengajak untuk menikmati makan berhidang secara bersama-sama.

Sebagian wilayah, makan berhidang menggunakan talam bulat sebagai wadah untuk meletakan seluruh hidangan. Jembutan kemudian duduk melingkar dengan hitungan ganjil di setiap talam antara 3, 5 atau 7 orang. Pada wilayah lain, makanan berhidang disajikan dengan menghidangkan seluruh makanan. Para jemputan kemudian duduk bersila dan melingkar atau berjejer mengelilili hidangan.

B. Peralatan dan Penyajian
Pelaksanaan makan berhidang dipersiapkan oleh kaum laki-laki dan perempuan. Pembagian kerja dibedakan berdasarkan keahlian atau kesanggupan. Pada makan berhidang dalam upacara adat misalnya, laki-laki menyiapkan pembangunan tempat memasak (dangau-dangau), dan kancah, sedangkan kaum perempuan menyiapkan berbagai peralatan seperti piring, kukuran, gelas, mangku, dan tudung saji.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *