Teknologi Tradisional Melayu Riau

Seorang Masyarakat Adat Tiga Lorong sedang memasang bubu di Batang Inderagiri. (foto: tigalorong.id)

A. Pengertian
Teknologi tradisional adalah keseluruhan sarana yang tersedia sebagai hasil karya cipta berdasarkan kebiasaan atau pengalaman kolektif suatu masyarakat. Kehadiran teknologi tradisional melalui sebuah proses pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungan, yang dikembangkan secara terus menerus dan diwariskan secara turun temurun. 

Lingkup teknologi tradisional Melayu Riau mencakup keseluruhan peralatan atau sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan dalam berbagai bidang yang dijalani oleh masyarakat Melayu. Bidang-bidang tersebut misalnya peralatan transportasi seperti kapal dan perahu, komunikasi seperti canang, beduk, dan ketuk-ketuk, peralatan rumah tangga seperti tikar, nyiru, bakul, dan peralatan kerja misalnya gerobak, beliung, dan penangkap ikan. 

Bacaan Lainnya

Ciri-ciri teknologi tradisional seperti berikut:
• memanfaatkan bahan baku dari alam
• menggunakan peralatan setempat
• menyerap tenaga kerja yang banyak
• menggunakan keterampilan atau pengetahuan setempat

Berdasarkan sifatnya, teknologi terbagi dalam 2 jenis yaitu teknologi modern dan teknologi tradisional. Teknologi modern ditandai dengan adanya penggunaan teknologi kekinian serta kepraktisan dalam penggunaan. Hal ini berbeda dengan teknologi tradisional yang masih menggunakan teknologi sederhana dan kepraktisan yang terbatas.

B. Jenis-jenis Teknologi Tradisional
Peralatan kerja tradisional Melayu Riau dapat diklasifikasikan berdasarkan bidang-bidang pada ekonomi tapak lapan. Bidang-bidang tersebut adalah berladang (pertanian), berkebun (perkebunan), beternak (peternakan), menangkap ikan (perikanan), beniro atau pengolahan hasil pekarangan (agroindustri), mengambil hasil hutan (perhutanan), bertukang dan kemahiran lainnya (industri kreatif), dan berniaga (perdagangan). 

Pembagian Teknologi Tradisional Melayu Riau

1. Berladang
Berladang padi dengan pola tradisional ladang berpindah sudah dilakukan secara turun temurun. Teknik ini menyeimbangkan kesuburan tanah dan kelestarian alam. Pembukaan tanah peladangan tidak dilakukan secara bebas, tetapi dipenuhi dengan hukum-hukum hutan-tanah dan pantang larang yang diatur secara ketat di dalam adat. Pembukaan tanah peladangan juga hanya bisa dilakukan di hutan cadangan atau bencah, dan tidak dibenarkan di rimba larangan ataupun rimba kepungan sialang. 

Pola berladang dilakukan secara evolusi dan berkesinambungan. Pembukaan hutan pertama kali diperuntukkan dengan menanam padi untuk dua musim tanam. Tanah peladang yang telah selesai digunakan dilanjutkan dengan menanam tanam keras seperti karet. Pembukaan ladang berikutnya dilakukan pada salah satu sisi ladang secara bertahap. Apabila selesai berladang padi, ditanami lagi tanaman keras. Begitu seterusnya sehingga terbuka beberapa lahan perkebunan. Tradisi menanam tanaman keras setelah berladang juga menjaga hutan tanah tetap produktif dan tidak menjadi hutan gundul. 

Berladang pada dasarnya tidak hanya sekadar menanam padi atau tanaman lainnya, namun juga menjaga kekayaan dan kekhasan budaya. Aktivitas berladang selalu diringi dengan mitos-mitos dan pelaksanaan ritual dan upacara. Hal ini dimaksudkan sebagai batas-batas yang mengatur pola berladang sebagai bagian dalam menjaga hutan tanah. Dengan sistem perladangan yang khas tersebut, masyarakat Melayu memahami dan mengerti hubungan antara manusia dan alam secara utuh. Tanah, sungai dan hutan merupakan jiwa, raga dan menyatu dengan kehidupan kebudayaan. 

2. Berkebun
Berkebun berkaitan erat dengan pola ladang berpindah. Perkebunan yang dilakukan berupa tanaman keras seperti kelapa, getah, dan sebagian kecil pohon sagu. Kebun karet umumnya ditemukan secara luas di wilayah daratan, kebun kelapa di wilayah pesisir, sedangkan pohon sagu pada wilayah kepulauan. Pilihan jenis tanaman kebun tersebut berdasarkan kondisi geografis wilayah yang cocok dengan tanaman yang di tanam.

Di dalam memproduksi karet, penakik sudah mulai bekerja sejak sebelum subuh hingga tengah hari. Pekerjaan pada subuh dilakukan untuk meningkatkan produksi getah karena pohon karet akan mengeluarkan getah lebih banyak saat dingin. Selain itu, aktivitas ini juga memaksimalkan efektifitas waktu. 

Setelah selesai menakik, penakik akan melanjutkan pekerjaan lainnya seperti mencari ikan, berkebun palawija di teratak, mengambil hasil dusun, beternak, ataupun mengumpulkan hasil hutan seperti rotan, menggetah burung kuaran pada musim penghujan, mencari damar dan gaharu, dan lain sebagiannya.

3. Bertukang

Pekerjaan bertukang membangun rumah atau kapal kayu bergantung dari permintaan anggota masyarakat. Pekerjaan ini bergantung dari kemahiran seseorang, dan tidak mengalir sepanjang tahun atau musim. Seorang kepala tukang harus mengetahui adat di dalam membangun rumah dan kapal. 

Bertukang tidak hanya membangun rumah semata. Bidang pekerjaan ini juga mencakup membuat alat-alat pertanian atau penangkap ikan, misalnya pandai besi, membuat antan, lesung, bubu, nyiru, lukah, jala, dan jaring.

4. Beternak

Beternak umumnya dilakukan untuk mengisi waktu luang.   Hewan ternak utama yang dipelihara berupa kerbau, sapi, dan kambing. Sedangkan pemeliharaan hewan lainnya berupa ayam dan itik dilakukan dengan memanfaatkan pekarangan rumah.

Hewan ternak utama digembalakan di padang penggembalaan terutama saat musim berladang. Padang penggembalaan menjadi bagian tanah ulayat yang dimiliki secara bersama. Sedangkan kandang ternak dibangun di tanah pekarangan atau di tanah kandang yang berdampingan dengan padang penggembalaan.

5. Beniro dan Mengolah Hasil Pekarangan
Membuat gula enau dan mengolah hasil pekarangan juga dilakukan sebagai pekerjaan sampingan. Hasil pekarangan yang diolah selain beniro adalah menggiling tebu, mengumpulkan buah pinang, membuat bubuk kopi, dan produksi pekarangan lainnya seperti duku, durian, rambutan, pisang, kelapa, dan tanaman obat-obatan.

6. Memanfaatkan Hasil Hutan
Memanfaatkan hasil hutan selalu memperhatikan keseimbangan alam dan kelestarian hutan. Hasil hutan yang dimanfaatkan hanya diperbolehkan pada rimba cadangan dan rimba kepungan sialang, sedangkan hasil hutan rimba larangan hanya untuk kepentingan umum misalnya pembangunan masjid, balai adat dan rumah adat, atau membangun rumah. Hasil hutan yang diambil berupa rotan, minyak kayu, damar, getah jelutung, gaharu, buah-buahan, kayu bangunan, pandan, buluh, madu lemah, dan binatang buruan. 

Hasil hutan dapat dimanfatkan secara langsung atau diolah terlebih dahulu. Pandan, buluh, dan rotan misalnya, diolah menjadi kerajinan tangan untuk membuat peralatan rumah tangga seperti tikar pandan, tikar rokan, kembut, perikat ataupun alat penangkap ikan seperti lukah, bubu, dan tangguk.

Hasil hutan lainnya adalah madu lebah di rimba kepungan sialang. Rimba ini berupa rimba kecil yang biasa menjadi pembatas ladang atau kampung. Di dalam rimba tersebut terdapat pohon sialang yaitu pohon kayu sejenis nangka air, yang menjadi tempat lebah bersarang. Mengambil madu lebah dilakukan dalam sebuah ritual yang disebut manumbai.

7. Menangkap Ikan
Menangkap ikan umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki. Hasil tangkapan bisa dipasarkan secara langsung berupa ikan segar atau diolah terlebih dahulu menjadi ikan kering seperti ikan asin, bilis, salai, dan belacan. Mencari ikan dapat dilakukan di laut, sungai dan anak-anak sungai, danau, tasik, dan bencah.

Menangkap ikan di laut, pendirian kelong tidak saja berfungsi sebagai tempat mencari ikan tetapi juga pengolahan. Hal ini sama  dengan bagan yang dibangun saat mencari ikan di sungai, yang juga difungsikan sebagai tempat menyalai ikan. Pola demikian merupakan sistem kearifan lokal untuk mengagasi permasalahan berdasarkan kondisi geografi. Kelong dibangun di laut dangkal yang jauh dari pantai, sedangkan bagan di bangun di pinggir-pinggir sungai tidak jauh dari lubuk tempat mencari ikan.

Alat tangkap yang digunakan merupakan peralatan tradisional yang tidak merusak ekosistem perairan. Alat-alat berupa jermal, lukah, jala, jaring, belat dan lain sebagainya dibuat secara pribadi atau diupahkan kepada pengrajin yang berada di kampung. Jenis ikan sungai yang diambil misalnya ikan selais, gabus, kapiyek, mujair, kopar, limbat, sembilang, baung, dan tapa. Beberapa jenis ikan diolah menjadi ikan salai seperi selais, gabus, dan limbat. Ikan laut yang diambil sejenis teri, tamban dan lainnya.

8. Berdagang
Berdagang tidak saja memiliki kedai di kampung atau dangau di pekan (pasar). Pekerjaan ini juga bisa dilakukan pada hari-hari pekan untuk menjual hasil ladang dan kebun, buah-buahan dari dusun, berniro dan mengolah hasil pekarangan, kerajinan tangan berupa alat-alat rumah tangga, pertanian, peralatan penangkap ikan; berburu dan hutan lainnya, dan ikan salai sebagai hasil pemanfaatan sungai dan danau.

Rujukan:
1. Derichard H. Putra, dkk. 2024. Budaya Melayu Riau untuk SMA/SMK/MA Kelas X. Pekanbaru: Penerbit Narawita

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *