Adat yang Diadatkan

Adat yang diadatkan adalah hukum, norma atau adat buah pikiran leluhur manusia yang piawai, yang kemudian berperanan untuk mengatur lalu lintas pergaulan kehidupan manusia. (foto: kosabudaya.id)

Adat yang diadatkan adalah hukum, norma atau adat buah pikiran leluhur manusia yang piawai, yang kemudian berperanan untuk mengatur lalu lintas pergaulan kehidupan manusia. Meskipun adat yang diadatkan ini merupkan seperangkat norma dan sanksi hasil gagasan leiuhur yang bijaksana, tetapi sebagai karya manusia, tetap rusak (berubah) oleh ruang dan waktu serta oleh selera manusia dalam zamannya. Itulah sebabnya raeskipun adat rancangan leluhur ini dipelihara dan dilestarikan, tetapi terbuka peluang untuk disisipi, ditambah dan dikurangi, agar tetap dapat menjawab tantangan kehidupan masyarakatnya.

Contoh adat yang diadatkan misalnya Datuk Demang Lebar Daun dan Raja Sang Sapurba telah merancang asas kehidupan kerajaan atau negara yang berbunyi: “Raja tidak menghina rakyat dan rakyat tidak durhaka kepada raja”. Inilah adat Melayu yang memberi dasar yang kokoh terhadap nilai demokrasi di Riau. Sebab, telah memberikan kedudukan yang seimbang antara pihak pemerintah (Raja) dengan pihak yang diperintah (rakyat).

Bacaan Lainnya

Contoh lain misalnya Datuk Kaya, leluhur Melayu tua Suku Laut, telah membuat adat atau aturan tentang pembagian hasil hutan dan laut. Bagi anak negeri yang mengambil hasil hutan dan laut sebatas keperluan sendiri (tidak diperjualbelikan) tidak ada cukai atau pungutan dari lembaga adat. Bagi orang luar serta anak negeri yang mengambil untuk diperdagangkan, berlaku adat sepuluh satu. Maksudnya, kalau diambil sepuluh, maka satu diserahkan kepada lembaga adat. Sedangkan terhadap hasil sarang burung layang-layang berlaku undang (adat) sepuluh lima. Jika diambi sepuluh, lima di antaranya hams diserahkan kepada lembaga adat. Dengan cukai atau pancung inilah lembaga adat mendorong swadaya masyarakat membuat pelantar pelabuhan, jalan sepanjang kampung, membuat masjid, surau dan madrasah, sehingga masyarakat mampu mengurus dirinya sendiri.

Datuk Demang Serail leluhur Melayu Petalangan (Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan) membuat adat pembagian hasil madu lebah. yakni ‘dua dua satu’. Dua bagian untuk tukang panjat yang mengambil madu lebah pada pohon sialang, yakni kemantan dan pembantunya. Dua bagian untuk warga suku di mana ulayat pohon sialang (tempat lebah bersarang) berada dan satu bagian lagi untuk orang patut negeri atau dusun tersebut. Di samping itu, Datuk Demang Serail, juga membuat ketentuan denda terhadap siapa saja yang menebang pohon sialang dengan alasan yang tiada munasabah. Pelampau itu didenda dengan kain putih sepanjang pohon sialang yang ditebangnya.

Datuk Laksamana Raja di Laut, leluhur Kerajaan Siak telah mengatur selat dan laut serta tentang penangkapan ikan terubuk. Selanjutnya, Datuk Perpatih membuat adat mengenai pesukuan, sehingga pewarisan pemangku adat seperti penghulu, monti dan hulubalang, menurut garis suku. Pusako turun dari mamak, turun kepada kemenakan. Akibatnya nikah kawin berlaku antar suku, sebab pihak yang sesuku dipandang bersaudara. Timbalannya, Datuk Ketumanggungan, membuat asas pergantian pemimpin berdasarkan garis darah (keturunan). Pusako turun pada anak, sesuai dengan hukum syarak. Sementara itu Datuk Bisai leluhur Melayu Kuantan Singingi membuat adat beternak dan beladang, sehingga antara peternak dan peladang tidak terjadi persengketaan, tapi menjadi harmonis dan saling menguntungkan.

Dalam jagad Melayu di Riau, adat yang sebenar adat telah menjadi tumpuan dari adat yang diadatkan, sehingga terbentuklah pandangan hidup yang sejati dalam rangkai kata adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Disingkat dalam rangkai kata yang piawai adat bersendi kitabullah. Bingkai ini dapat pula dipandang sebagai paduan antara konsep adat Datuk Perpatih (yang menekankan adat yang diadatkan) dengan asas adat Datuk Ketemenggungan (yang lebih menekankan pada adat yang sebenar adat). Paduan ini amat indah, sebenarnya Datuk Perpatih melihat adat dalam kenyataan kehidupan manusia, sementara Datuk Ketemenggungan melihat adat dari sudut hakekatnya di sisi Tuhan. Bingkai ini memperlihatkan lagi kepiawaian manusia harus berpijak pada panduan Allah dan Rasul-Nya. Sebab manusia yang sejati tidak dapat hidup hanya dengan hukum (adat) buatan manusia saja. Manusia yang sejati adalah manusia yang beragama, yakni yang menyembah Tuhannya.

Adat yang diadatkan termaktub di dalam pepatah petitih, undang-undang adat, dan ketetapan lainnya yang disepakati secara bersama.

Di dalam ungkapan, adat yang diadatkan disebutkan:
adat yang diadatkan
adat yang turun dari raja
adat yang datang dari datuk
adat yang cucur dari penghulu
adat yang dibuat kemudian
putus mufakat adat berubah
bulat kata adat berganti
sepanjang hari ia lekang
beralih musim ia layu
bertuhan angin ia melayang
bersalin baju ia tercampak
adat yang dapat dibuat-buat

Rujukan:
1. Tenas Effendy. 1991. Adat Istiadat dan Upacara Adat Perkawinan di Bekas Kerajaan Pelalawan. Pekanbaru: Lembaga Adat Daerah Riau & Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Riau
2. Elmustian Rahman, Derichard H. Putra, Abdul Jalil. 2009. Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu. Pekanbaru: Program Muhibah Seni Universitas Riau
3. Elmustian Rahman, dkk. 2012. Ensiklopedia Kebudayan Melayu Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau
4. Taufik Ikram Jamill, dkk. 2018. Buku Sumber Pegangan Guru Pendidikan Budaya Melayu Riau. Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *