Cerita Rakyat Asal Mula Pulau Kapal

Buku Cerita Rakyat Daerah Riau. (foto: folklor.kosabudaya.id)

“Cepat pulang kalau barang itu sudah laku!” Pesan ibunya.

“Ya emak!” Jawab si Lamat.

Bacaan Lainnya

Sampai di negeri seberang si Lamat mencari kedai emas yang paling besar untuk menawarkan bendanya. Namun, pemilik kedai itu tak berani membeli. Ada juga yang berani tapi tak mampu membeli.

“Maaf, kami tak punya uang untuk membeli barangmu. Seadainya kedai dan harta pusakaku dijual pun uangnya masih belum cukup membeli tongkatmu,” ujar pemilik sebuah kedai. 

“Di manakah saudagar yang paling kaya di negeri ini?” Tanya si Lamat. Pemilik lalu kedai itu mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian ia memberitahukan seorang saudagar terkaya di negeri itu.

Lamat pun menemui saudagar kaya raya itu. Dan, tongkat emas bertatah permata berlian intan mutiara itu pun dijual dengan harga yang sangat mahal.

Di negeri itu banyak saudagar kaya dari negeri-negeri lain yang singgah di pelabuhan. Lamat tertarik untuk menetap sementara waktu di sana. Lamat kemudian membeli kapal, sisanya dibuat berdagang. 

Lama menetap di negeri itu Lamat pun mempunyai teman-teman yang juga berasal dari saudagar-saudagar kaya. Ia kini menjadi seorang saudagar kaya. Lamat kemudian menikah dengan gadis yang paling cantik di desa itu. Gadis tersebut juga putri seorang saudagar yang kaya raya.

Karena kesenangan, kekayaan, dan kesibukannya, Lamat lupa asalnya, lupa kampung halamannya, lupa kepada ayah dan emaknya yang menanti di gubuk reotnya, lupa pula dengan janji-janjinya. 

Lamat semakin hari semakin. Bahkan ia dikenal orang yang paling banyak mempunyai kapal di negeri itu. Kemana-mana ia selalu dikawal. Semua kebutuhannya dilayani. Lamat kini bagaikan seorang raja. Kepada isteri, mertua, tetangga, dan teman-temannya, Lamat tak pernah sekalipun menceritakan keadaan orang tuanya yang miskin dan juga keadaan kampung kelahirannya. Ia memang sengaja melupakan masa lalunya

Sering kali isterinya yang cantik jelita itu menanyakan asal usul si Lamat dan menyatakan keinginannya untuk diajak ke negeri suaminya. Sekaligus berkenalan dengan orang tuanya. Namun, sering pula Lamat menghindar dari pertanyaan itu dan hanya berjanji suatu saat kelak akan pulang ke kampung halamannya.

Suatu ketika isterinya berkeinginan keras untuk pergi ke kampung Lamat. Karena desakan sang istri terus menerus, akhirnya Lamat pun menuruti. Disiapkanlah kapal miliknya yang paling mewah untuk berlayar menuju negeri kelahirannya.

Sampailah akhirnya kapal mewah itu merapat di muara sungai kampung si Lamat. Ia merasa tidak pantas orang kaya turun dan berjalan di sebuah kampung di pedalaman. Karena itu, ia menyuruh anak buahnya untuk menjemput orang tuanya. Anak buah Lamat kemudian mencari kampung yang dimaksudkan oleh majikannya tersebut. Ia bertemu dengan orang tua Lamat, kepada mereka dikatakan bahwa Lamat telah kembali.

“Di manakah dia sekarang?” Tanya ayah dan ibu si Lamat. 

“Di bandar!” Jawab anak buah Lamat.

“Mengapa tidak dikau ajak pula dia kemari?”

“Tak pantas, seorang saudagar kaya turun dari kapalnya. Apalagi kapal saudagar Lamat sangat mewah, semua orang menjadi takjub melihat kapal tersebut.”

“Bersama siapakah dia?” Tanya ibunya.

“Tuan Lamat bersama isterinya dan berpuluh-puluh anak buahnya yang melayani di kapal.”

“Oh… Anakku sudah punya isteri,” teriak  emaknya gembira. Emaknya kemudian membawakan makanan kesukaan anaknya itu. Kedua orang tua Lamat melangkah cepat-cepat karena ingin bertemu anak yang dirindukannya. 

Ketika sampai di pelabuhan, kedua orang tua itu benar-benar takjub melihat kapal yang sangat mewah. Mereka mencari-cari Lamat, bagaimanakah rupanya sekarang? Apakah semakin tampan? Apakah isterinya cantik? Demikian yang terlintas di benak kedua orang tuanya itu. Lamat dan isterinya sedang duduk santai di suatu ruang yang mewah. Mereka mengenakan pakaian indah bagaikan raja dan ratu. Tak lama kemudian pintu kamar di ketuk. Isteri Lamat bergegas membukanya.

“Tuan putri, inilah orang tua juragan Lamat,” kata anak buah kapal. 

Istri Lamat langsung memeluk mertuanya, ia tidak memperdulikan pakaian lusuh dan kumuh orang tua suaminya tersebut. Baginya, mertua sama artinya dengan orang tuanyanya sendiri. Setelah mempersilakan duduk, ia segera memanggil si Lamat suaminya.

 “Wahai suamiku, orang tuamu sudah datang. Sambutlah!” Kata wanita cantik itu dengan suara yang amat lembut.

Lamat bangkit dari duduknya dan melangkah menuju ambang pintu. Melihat Lamat yang datang, kedua orang tua itu segera merangkul dan memeluknya. Namun, secara tiba-tiba Lamat mundur selangkah, lalu ia mendorong orang tuanya hingga jatuh terduduk.

“Pergilah! Kalian bukan orang tuaku!” Kata Lamat dengan muka merah padam.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *