Cerita Rakyat Batang Tuaka

Kota Tembilahan, Inderagiri Hilir, Riau. (foto: guruku.kosabudaya.id)

“Berangkali dia ingin berterima kasih kepada kita, karena kita sudah menolongnya. Sebaiknya kita jual saja permata ini kepada saudagar. Uangnya kita gunakan untuk berdagang supaya kita tidak hidup misikin lagi” jawab emak Tuaka penuh rasa syukur. Tuaka pun setuju dengan tawaran emaknya.

Keesokan harinya, Tuaka pergi ke bandar ramai para saudagar. Sesampai di sana, Tuaka berkeliling ke sana ke mari mencari saudagar yang berani membeli permatanya dengan harga yang tinggi. Hampir semua saudagar di bandar itu tak ada yang berani membelinya. Ia mulai putus asa dan berniat membawa pulang ke rumah. Namun, ketika sampai di ujung bandar, tiba-tiba ia melihat seorang saudagar yang sepertinya belum ia tawar. Tuaka menghampiri saudagar itu, kemudian menawarkan permatanya dengan harga yang tinggi. Tampaknya, saudagar itu sangat tertarik setelah mengamati permata berkeliau itu.

Bacaan Lainnya

“Aduhai elok sangat batu permata ini! Aku sangat ingin memilikinya. Harga yang kau tawarkan itu memang tinggi, tapi aku tetap akan membelinya,” kata sang Saudagar.

“Kalau begitu, apa lagi yang Tuan tunggu? Tuan hanya tinggal membayarnya,” desak Tuaka dengan hati berdebar karena bahagia.

“Uang yang aku bawa tak cukup, Nak! Jika kamu mau, kamu boleh ikut denganku ke Temasik (Singapura) untuk mengambil kekurangannya,” kata sang Saudagar. Tuaka tampak termenung sejenak memikirkan tawaran sang saudagar.

“Ehm, baiklah Tuan. Saya nak ikut Tuan ke Temasik,” jawab Tuaka. Setelah itu, Tuaka pulang ke rumahnya untuk menceritakan masalah ini pada emaknya. Akhirnya, emak Tuaka mengizinkannya berangkat ke Temasik. Tuaka dan saudagar kaya itu berlayar menuju Temasik. Sepanjang perjalanan, Tuaka tak henti-hentinya membayangkan betapa banyak uang yang akan diperolehnya nanti.

Setibanya di Temasik, sang Saudagar membayar uang pembelian permata kepada Tuaka. Karena uang yang berlimpah tersebut, Tuaka lupa kepada ibu dan kampung halamannya. Dia menetap di Temasik.

Beberapa tahun kemudian Tuaka telah menjadi saudagar kaya. Dia menikah dengan seorang gadis elok rupawan. Rumahnya sangatlah megah, kapalnya pun banyak. Hidupnya bergelimang dengan kemewanan. Dia tak lagi peduli emaknya yang miskin dan hidup sendirian, entah makan entah tidak.

Suatu ketika, Tuaka mengajak istrinya berlayar. Kapal megah Tuaka berlabuh di kampung halaman Tuaka. Sebenarnya Tuaka masih ingat dengan kampung halamannya tersebut. Akan tetapi, rupanya dia enggan menceritakan kepada istrinya bahwa di kampung yang mereka singgahi tersebut emaknya masih hidup di sebuah gubuk tua. Dia tak mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita yang sudah tua renta dan miskin.

Sementara itu, berita kedatangan Tuaka terdengar pula oleh emaknya. Emaknya bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang bertahun-tahun tak terdengar kabar beritanya tersebut. Karena rindu tak terbendung ingin bertemu anaknya, Emak Tuaka pun bersampan mendekati kapal megah Tuaka.

“Tuaka, Anakku. Emak sangat merindukanmu, Nak!” Teriak Emak Tuaka saat melihat Tuaka dan istrinya di atas kapal megah itu.

“Siapa gerangan wanita tua itu, Kakanda? Mengapa dia menyebut Kakanda sebagai anaknya?” Tanya istri Tuaka dengan wajah tidak senang.

Tuaka terkejut bukan kepalang melihat emaknya di atas sampan berteriak memanggilnya. Dia tahu wanita dengan pakaian compang-camping itu adalah emaknya, tapi tak diakuinya. Dia sangat malu pada istrinya.

“Hei, jauhkan wanita miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku sebagai emakku,” teriak Tuaka dari atas kapal.

“Ya, usir dia jauh-jauh dari sini,” tambah istri Tuaka sambil bertolak pinggang. Mendengar perintah dari tuannya, anak buah Tuaka segera mengusir wanita miskin nan malang itu menjauh dari kapal.

Emak Tuaka sangat bersedih. Sambil menangis dia bersampan menjauhi kapal Tuaka.

“Ya Allah! Ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya,” ratap Emak Tuaka sambil menangis. Rupanya Tuhan mendengar doa Emak Tuaka.

Sesaat setelah doa emak Tuaka terucap, tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor burung elang. Begitu pula istri Tuaka, dia berubah menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka sangat terkejut dan sedih melihat anaknya yang telah berubah menjadi burung. Walaupun Tuaka telah menyakiti hatinya, sebagai seorang ibu ia sangat mencintai anaknya.

Burung elang dan burung punai tesebut terbang berputar-putar di atas muara sungai sambil menangis. Air mata kedua burung itu menetes, membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberinama nama Sungai Tuaka.

Kemudian oleh masyarakat setempat mengganti kata ‘sungai’ ke dalam bahasa Melayu menjadi ‘batang’. Sejak itu pula, daerah di sekitar muara sungai tersebut diberi nama Batang Tuaka yang kini dikenal dengan Kecamatan Batang Tuaka yang berada dalam wilayah Indragiri Hilir.

Rujukan
Derichard H. Putra, dkk. 2008. Cerita Rakyat Daerah Riau. Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *