Cerita Rakyat Negeri Tanah Sepuruk

Buku Cerita Rakyat Daerah Riau. (foto: folklor.kosabudaya.id)

Sampai suatu hari, emak Wuk bersiap-siap dengan peralatan tuainya karena memang sedang musim menuai. Sejenak teringat olehnya masa lalu, meski hidup serba kekurangan. Namun ia selalu bahagia karena Wuk, anak semata wayangnya riang menemaninya ke ladang. Terdorong rasa dan berharap masa lalu itu berulang lagi, ibu tua itupun membangunkan Wuk yang masih tidur di kasur empuknya.

“Nak bangunlah, bagaiman kalau hari ini kalau Engkau ikut Emak ke ladang. Padi kita sekarang sudah menguning Nak. Engkau pasti senang melihatnya. Lagi pula engkau sangat pandai menuai, bolehlah kita menuai bersama lagi seperti dahulu”. Kata demi kata itu keluar dari getaran bibir emak Wuk yang rindu akan kebahagiaannya di ladang bersama anaknya.

Bacaan Lainnya

Dengan hati yang berat dan rasa malu yang besar karena istri seorang bangsawan akan turun ke ladang. Wuk menyetujui keinginan emaknya. Ia teringat pesan suaminya sesaat sebelum berangkat meninggalkan dusunnya dulu. Dengan langkah berat, Wuk mengikuti emaknya dari belakang. Ia tak kuasa memandang ke kanan dan ke kiri karena malu akan ketahuan orang-orang dusun. Keriangan Wuk dulunya, nyanyian-nyanyian kecil yang bersahutan dengan kicau burung yang selalu membuat emaknya tersenyum kini tak lagi ditemukan.

Hari sudah hampir petang. Padi-padi yang sudah di tuai sudah terkumpul di dalam bakul. Sebagian dari bakul-bakul yang penuh berisi padi itu dinaikkan ke atas pondok agar aman dan tidak kehujanan sebelum padi-padi itu di bawa pulang. Satu bakul besar telah berada di pundaknya. Emak Wuk sengaja meninggalkan bakul ukuran kecil yang biasa di pukul oleh Wuk.

“Wuk ini bakul kamu Nak, bakul kamu yang dulu…” ujar emak Wuk dengan raut wajah berharap anaknya akan memberinya senyum keriangan seperti dulu. Tapi ternyata harapan itu hanyalah sebuah harapanya yang tertahan di dalam hati.

“Emak… cobalah Emak berpikir, aku ini adalah seorang istri bangasawan yang sudah dibangunkan rumah mewah di dusun ini. Kalau aku masih bekerja seperti ini, akan jatuhlah derajatku dan juga derajar kanda mak…” kata Wuk dengan muka masam dan meninggalkan bakul begitu saja.

“Nak derajat bukan ditentukan oleh kekayaan. Tapi kemuliaan dan kerendahan hatilah yang mengalahkan segala-galanya,” nasihat emak Wuk dengan harapan anaknya mengerti dan sadar dengan asal usul dirinya. Ia tidak ingin anaknya bagai kacang lupa kulitnya.

Namun Wuk seolah tak mendengarkan perkataan emaknya. Ia terus berjalan di depan dengan gaya congkak dan menunjukkan kemarahan pada emaknya. Di sepanjang jalan ia menggerutu dengan kata-kata yang tidak jelas. Kata-kata yang tidak pantas keluar dari mulutnya. Bukan lagi nyanyian keriangan yang di dengar emak Wuk. Tapi sumpah serapah telah mengganti semuanya. Sedikitpun tak ada belas kasih di hati Wuk pada emaknya yang sangat menyayanginya itu.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 Komentar