Cerita Rakyat Asal Mula Pulau Sangkar Ayam

Buku Cerita Rakyat Daerah Riau. (foto: folklor.kosabudaya.id)

“Apakah betul ia seorang manusia!” pikir musafir muda. “Jangan-jangan ia seorang bidadari yang turun dari khayangan” gumannya bingung.

“Abang mau kemana, sepertinya abang baru di tempat ini,” sapa perempuan itu lembut, ia tersenyum, bibirnya merah, giginya putih berbaris rapi.

Bacaan Lainnya

Laksana tersihir, musafir muda terdiam tidak bergerak, ia tidak yakin perempuan itu menyapanya.

“Abang mencari siapa?” sapa perempuan itu lagi, ia kian mendekat.

Musafir muda masih terdiam tidak percaya. Ia ingin lari lungkang pungkang. Jangan-jangan ia hantu jambangan yang ingin menyantapnya, bukankah tidak siapa-siapa di tempat ini, dan mustahil juga ada perempuan cantik yang hidup di tengah hutan seorang diri, pikirnya ketakutan.

“Namaku Suri, kalau abang ada keperluan, datang saja ke tempatku, rumahku ada di ujung sana, di balik hutan ini”

“Tapi…” musafir muda tidak melanjutkan kata-katanya, ia masih ragu,  ia masih tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya.

“Tapi apa…” sela yang mengaku bernama Suri itu, ia mundur beberapa langkah ke belakang, ia juga mulai ragu, jangan-jangan lelaki ini ingin mencelakakanku, bisiknya.

“Tapi, kenapa kamu bisa ada di tempa ini,” tanya musafir muda. Setelah mengumpulkan sisa-sisa kekuatan di hatinya.

“Aku tinggal di sebalik hutan di sebelah sana, kampung kami di situ” jawab perempuan itu sopan.

Mendengar pengakuan gadis itu, musafir muda menjadi tenang, hatinya tidak ragu lagi, berarti tempat yang kutuju tidak salah, pikirnya. Namun ia tetap tidak berkedip menatap perempuan itu.

“Abang jangan menatapku serupa itu, aku jadi takut” kata gadis itu lagi.

“Tidak usah takut,” sela musafir muda, “aku hanya tidak menyangka di hutan rimba raya ini ada perempuan secantik dirimu,” pujinya musafir muda jujur.

“Ah! Abang jangan berkata seperti itu, aku kan jadi malu,” ujar gadis itu menunduk malu, wajahnya bersemu kemerah-merahan.

“Secantik-cantik perawan kampung bang, takkan jadi tambangan, ibarat bunga tumbuh di hutan, layu tak pernah dipetik tangan.”

Hening sejenak, hanya desau semak belukar ditingkah segala macam penghuni hutan seakan pesta akbar di rimba raya, gemersik ombak dan desiran daun nyiur disebak angin laut mendayu lembut samar di telinga. Suasana yang indah. Camar-camar pun telah pulang tidak lagi berserak di angkasa biru, menuju peraduan mengejar mimpin menjemput pagi kembali.

Bujang Kelana masih diam  tertegun, berjuta rasa dan asa menyatu dengan entah perasaan apa yang berkecamuk di hatinya, tidak mungkin aku jatuh cinta secepat ini, gumannya dalam hari.

“Oh ya, namaku Bujang Kelana, tadi kamu sebutkan namamu kalau tidak salah Suri ya?” tanya yang Bujang Kelana agak ragu.

“Iya… namaku Suri, kalau boleh tahu abang mau kemana, dan apa maksud dan tujuan datang ke tempat ini,” tanya Suri penasaran.

“Saya datang ingin berguru ke negeri ini, kabar yang tersiar di negeriku, di sini ada seorang guru alim yang taat dan baik hati, ia ingin mencari murid untuk mewarisi ilmu yang ada padanya,” ujar Bujang Kelana panjang lebar.

“Apakah Suri tahu siapa guru itu?” tanya Bujang Kelana lagi.

“Memang di sini ada seorang guru yang alim dan taat, tapi sekarang dia telah pergi entah kemana, sejak murid-muridnya pergi dan berguru pada Pendekar Katung, dia hilang entah kemana, bagai telan bumi begitu saja,” jawab Suri menjelaskan.

“Pendekar Katung? Rasanya saya pernah mendengar nama itu, siapakah dia, apakah Suri tahu siapa dia?”

Tapi Suri tidak menjawab, ia berbalik arah dan pergi terburu-buru, sepertinya ada yang disembunyikannya.

“Suri! Kemana…!” teriak Bujang Kelana.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *