Cerita Rakyat Putri Tujuh Versi 1

Baju Kebaya Melayu Riau. (foto: kosabudaya.id)

Sebagaimana yang sudah diceritakan sebelumnya, bahwa untuk membantu Syarifah Ruqayah mengasuh putri-putrinya Sayid Aziz Ibrahim mengangkat Nasimah sebagai ibu/kakak asuh dengan gelar kehormatan, Dayang Nasimah. Khususnya untuk ketujuh putri yang dilahirkan oleh Syarifah Ruqayah. Sedangkan Syarifah Rohimah tidaklah begitu dekat, lantaran mereka tidak tinggal serumah dan jarang berkumpul bersama. Adapun teman bermain Syarifah Rohimah sehari-hari adalah gadis belia.

Karena kedudukannya sebagai istri pejabat kerajaan Syarifah Ruqayah memiliki keterbatasan ruang gerak sebagaimana yang diatur oleh adat istiadat. Sementara, antara Dayang Nasimah dan ketujuh putri tidaklah tampak perbedaan yang menyolok, karena kesederhanaan hidup yang diajarkan oleh Sayid Aziz Ibrahim kepada putri-putrinya. Dayang Nasimah mengasuh ketujuh bagaikan anak sendiri, sebaliknya ketujuh putri memperlakukan Dayang Nasimah bagaikan ibu kandung sendiri.

Bacaan Lainnya

Setelah menjadi gadis remaja antara satu puteri dengan yang lainnya memang memiliki paras dan kulit yang agak berbeda. Namun, walaupun ketujuh putri sadar mereka cantik jelita dan putri pejabat kerajaan yang dimuliakan, berkat didikan agama yang ditanamkan oleh Sayid Aziz budi pekerti mereka sangat baik.

Sebagai anak bungsu Syarifah Junjungan memiliki sesuatu yang lebih dibandingkan kakak-kakaknya dari sejak dilahirkan. Kabar tentang putri yang bertujuh ini sudah menyebar luas keluar wilayah kekuasaan Raja Pamalayu, karena banyaknya orang dan mengintai keelokan Putri Tujuh.

Teuku Muhammad Jamil Maureksa (selanjutnya hanya akan disebut Jamil) adalah seorang pangeran muda, putra dari seorang raja sebuah kerajaan di Aceh yang disebutkan bernama Temiang. Kabar tentang kecantikan dan keelokan Syarifah Junjungan telah pula sampai ke telinga Jamil Meureksa. Walaupun tak pernah dilihatnya langsung, tapi kabar yang disampaikan orang kepadanya telah membuat dirinya senantiasa merindukan Syarifah Junjungan.

Sebenarnya ayah Jamil Meureksa agak keberatan menuntut harapan anaknya, lantaran anaknya belum pernah melihat Syarifah Junjungan. Akan tetapi karena hati telah dipenuhi oleh syahwat dan angan-angan yang panjang, Jamil menampik saran ayahnya dan bersikeras agar segera mengirmkan utusan untuk meminang. Mau tidak mau terpaksalah pihak Temiang mengirimkan utusan kepada Raja Pamalayu.

Sayid Aziz Ibrahim menyambut hangat utusan Aceh kecil dan merasa berbesar hati atas perhatian mereka terhadap putrinya. Namun lantaran hidup menjunjung adat dan tunaikan syariat, maka pinangan yang disampaikan oleh utusan tersebut untuk sementara waktu belumlah dapat dijawab. Sayid Aziz Ibrahim berjanji akan secepatnya memberikan jawaban tanpa menyebutkan batas waktu. Sebetulnya Sayid Aziz bukanlah tak suka anaknya dipinang orang, tetapi pada saat itu usia Syarifah Junjungan baru berusia sekitar 15-16 tahun. Sementara, kakak-kakaknya belum lagi duduk menikah, walau di antaranya sudah ada bertunangan.

Untuk membahas pinangan tersebut, sayid Aziz lalu mengundang saudara-saudaranya. Namun, pada saat yang bersamaan musibah menimpa saudara-saudaranya. Mulanya saudaranya Sayid Abdurrahman dan Sayid Abul Hasan di Tanjung Palas sakit dan meninggal. Pada saat keluarga Sayid Aziz Ibrahim sedang berduka ini, Jamil Maereksa merasa tersiksa lantaran tak sabar menunggu jawaban atau pinangan yang telah disampaikan. Kegelisahan serta ketidaksabaran Jamil Maereksa memungkinkan masuknya bisikan setan agar Jamil melakukan tindakan yang dianggapnya baik. Dengan alasan bahwa Raja Pamalayu telah menolak lamarannya dengan cara yang tidak bijaksana. Raja Aceh kecil berusaha menyabarkan anaknya, namun tidak berhasil. Jamil yang sudah dirasuki oleh keinginan setan yang jahat menolak anjuran ayahnya. Jamil tetap bersikeras dan mendesak ayahnya untuk memberi izin menyerang Raja Pamalayu.

Betapa terkejutnya Sayid Aziz Ibrahim yang baru saja mengundang beberapa pembantu dekatnya guna membicarakan persoalan Syarifah Junjungan ketika datang utusan Jamil Meureksa kepadanya dan memberi kabar bahwa pasukan Aceh kecil sudah berada di kuala Sungai Mesjid. Setelah Jamil kembali ke induk pasukannya, Sayid Aziz Ibrahim segera mengumpulkan para pembantu dekatnya untuk membicarakan kehadiran pasukan Aceh kecil di Sungai Mesjid.

Kiranya Jamil masih merasa sungkan untuk langsung menyerang Raja Pamalayu.. Karena itulah sesampainya di kuala sungai mesjid dikirimkannya utusan lebih dahulu. Di samping itu Jamil pun merasa perlu mengistirahatkan pasukannya setelah berhari-hari berlayar, agar pada saat menyerang kekuatan pasukannya pulih kembali.

Tempat yang dipakai oleh balatentara Jamil inilah yang kemudian hari dikenal sebagai Desa Bangsal Aceh, karena Jamil memerintahkan untuk mendirikan bangsal-bangsal kayu di tempat tersebut.

Kembali pada Sayid Aziz Ibrahim yang dikejutkan oleh Jamil tersebut, maka kepada utusan yang datang Sayid Aziz Ibrahim menjelaskan agar Jamil jangan tergesa-gesa membuat keputusan perang. Sebab hal tersebut akan merugikan rakyat banyak dan diri mereka masing-masing. Jamil hendaklah menanti di tempat istirahatnya.

Setelah kejadian itu Sayid Aziz pun kemudian berunding dan memutuskan untuk menemui Jamil. Sementara dia berangkat, dia menitahkan Sayidah Hasanah ditetapkan sebagai pemimpin istana Raja Pamalayu. Sedangkan Syarifah Ruqayah beserta ketujuh putrinya akan diungsikan ke lubang persembunyian bawah tanah di Tanjung Palas.  Apabila Syarifah Ruqayah dan semua putrinya sudah masuk lubang persembunyian, dititahkan oleh Sayid Aziz Ibrahim untuk menutupnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *