Cerita Rakyat Si Umbut Muda

Buku Cerita Rakyat Daerah Riau. (foto: folklor.kosabudaya.id)

Umbut Muda bermaksud memenuhi undangan itu. Seperti hari-hati sebelumnya jika menghadiri jemputan, Umbut Muda akan memakain pakaian indah dan mahal, perhiasan yang bagus dan elok. Umbut Muda memamerkan kekayaanya.

Sedangkan Emaknya, hanya akan berpakaian biasa saja, tidak seperti anaknya yang sudah lupa langit dan tak ingat bumi.

Bacaan Lainnya

“Mak, pakailah baju yang bagus, jangan membuat Umbut malu sama orang-orang, yang datang dalam perjamuan itu adalah pembesar-pembesar Mempura,” perintah Umbut kepada emaknya dengan jengkel.

“Kita tidak boleh sombong Umbut, bukankah pakaian hanya untuk menutupi aurat saja, untuk apa mesti mahal-mahal,” jawab emaknya menasehati.

“Emak mau tidak mengikuti kata-kata Umbut, ini untuk kebaikan Emak juga,” bentak Umbut dengan keras.

“Iya.. ya… iyalah Umbut!” Sahut emaknya katakuatan.

Emak Umbutpun mengenakan pakaian yang mahal seperti kehendak Umbut. Sedangkan Umbut sendiri juga memakai pakaian indah terbuat dari sutra yang berasal dari negeri Tiongkok. Cincin dipasang sepuluh jari. Gelang lima serangkai sepanjang lengan. Dukuh terkalung di leher hingga ke paras dada, sepuluh rangkai, baju kurung berkancing permata berlian di batas leher, bergelang kaki emas giring-giring. Sedangkan dipinggang, terlilit emas bertampuk kulit ketam rinjung terbuat dari emas dua puluh empat karat.

Umbut Muda bergelang banyak memang sudah cukup termasyur. Sudah cukup terkenal di lingkungan Mempura, hingga ke hulu sungai desa Senapelan.

Cantiknya si Umbut Muda bertambah cantik, anggun berjalan. Ia berpayung biru muda, diberi berumbai-umbai manik kaca buatan negeri Tiongkok.

Lenggang-lenggok si Umbut Muda tampak sangat kentara, bila jembatan lintas sungai Jantan dititinya.

“Kriut …kriut…” tumit halusnya mulus berjinjit berderit-derit. Ibunya bertugas tukang payung, berjalan di sebelah kiri.

Entah apa asal-muasalnya, mungkin su¬dah kehendak Allah Swt. Tiba-tiba terlepaslah dua susunan gelang di tangan kanan si Umbut Muda. Gelang-gelang itu terpelanting, lalu jatuh ke dalam sungai.

“Mak…gelang Umbut jatuh dua dua buah,” kata si Umbut Muda terpekik. Ia menyuruh ibunya terjun ke dalam sungai.

“Mak, selami gelangku Mak…” katanya sambil menolak ibunya itu ke dalam sungai.

“Selam, Mak…selam!” Perintah Umbut Muda ketus.

“Arus sungai deras Nak… Mak tak sanggup menyelam.”

Si Umbut Muda begitu marah kepada ibunya itu. Ia pun mengambil sebatang kayu bercabang lalu ditekankan ke tengkuk ibunya.

“Selam gelangku… selam!” Teriaknya kuat-kuat.

“Burrr…,” gelembung-gelembung air berasal dari nafas ibunya keluar dari kedalaman air.

“Burrr…,” arus sungai pun menggelegak. Dan pada saat itu pula turun angin puting beliung memuntal-muntal, “Siuuung… siuang… siuuuuung”

Si Umbut Muda pun tergulung angin puting beliung itu. Ia terpelanting ke dalam sungai lalu terbenam.

“Maaak…” suaranya semakin sayup, dan mati lemas terikat tarikan lumpur, sementara ibunya terangkat ke tebing sungai, tertegun beristigfar.

“Astagfirullahil’aziiim… kenapa Nak,” ucap emak Umbut Muda melihat ke dalam air sungai sambil menangis. Ia telah kehilangan putrinya yang disayanginya sekaligus menyakitkan hatinya.

***

Pada bulan-bulan tertentu, hingga sekarang. Selalu kelihatan akar-akaran dalam Sungai Siak dipermainkan arus. Akar-akar itu bergerak-gerak seakan-akan rambut terurai panjang menggelitik-gelitik. Suatu pemandangan dipercayai penduduk sebagai rambut Umbut Muda muncul di situ, untuk dijadikan peringatan tentang anak durhaka.

Adakalanya juga angin puting beliung menggulung-gulung di situ. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, hal ini bisa saja terjadi sewaktu-waktu, bila ada pelanggaran adat serta syarak, di lingkungan Siak Sri Indrapura negeri beradat.***

Rumber:
Derichard H. Putra, dkk. 2008. Cerita Rakyat Riau. Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *