Sistem Ekonomi Tapak Lapan

Bagan tempat mencari ikan di Rokan, Riau. (foto: guruku.kosabudaya.id)

C. Pelaksanaan Tapak Lapan
Pelaksanaan bidang-bidang pencarian Tapak Lapan di atas bagi orang Melayu tidak dilaksanakan dengan ketat, tetapi disesuaikan dengan keperluan mereka. Sebagian kecil pula bidang pekerjaan yang tidak tertampung pada bidang pekerjaan di atas menghasilkan jasa kerajinan, dalam arti menjual tenaga (profesi), maka menjual kemampuan fikiran dan magi seperti menjadi dukun, ahli syarak, guru tasawuf (guru agama), ahli nujum (ahli membintang), pawang, baun, mengajar mengaji, menjadi guru silat, mualim kapal (pemandu arah) dll.

Galangan kapal di Bagansiapiapi, Rokan Hilir, Riau. (foto: guruku.kosabudaya.id)

Lapan tapak mata pencarian atau sumber pendapatan di atas merupakan aktivitas orang Melayu yang lebih panjang lagi, dapat dilakukan pada bilangan masa satu musim, yakni musim kemarau dan musim hujan. Ketika saat musim kemarau belangsung cukup lama, dan tetumbuhan teberau di sepanjang sungai sudah mulai berbunga, begitu pula dengan buah-buahan seperti durian, mempelam, mangga, macang, pauh atau tepah, tayas, kuini, limos, longung, kemang, binjai mulai berbunga, pertanda memulai untuk bersawah atau berladang.  

Bacaan Lainnya

Biasanya apabila pagi mereka berladang (pertanian), sorenya mereka selingi dengan menangkap ikan (perikanan). Adakalanya juga sebelum mereka menangkap ikan, seperti merawang atau mengecal (menangkap ikan dengan tangan). Ini pekerjaan yang berdekatan waktunya pada musim kemarau. Biasanya pada musim kemarau yang panjang, kebun karet bercukur atau mengurak, yakni daunnya gugur salah satu strategi pohon karet mempertahankan hidup. Saat keadaan seperti itu getahnya berkurang. Lazimnya para petani karet mengistirahatkan pohon karet untuk ditakik hingga pohon karet tersebut berdaun.

Selain itu, sebagian orang Melayu mencari hasil hutan, misalnya mencari rotan sebagai bahan anyaman dan kegiatan lainnya seperti beniro (agroindustri). Jika mereka selesai bersawah-ladang mereka beranjak pula mengerjakan kebun mereka (perkebunan). Di akhir pekan, hasil-hasil baik pertanian maupun perkebunan dan agroindustri mereka jual ke masyarakat lainnya (perdagangan). Pekerjaan bertukang menjadi kegiatan perantara dari masing-masing bidang pekerjaan tersebut.

Dalam pelaksanaan, ada kalanya tidak dilakukan sekaligus beberapa pekerjaan tersebut. Melainkan penggabungan dua atau lebih jenis pekerjaan atau kegiatan ekonomi. Ini merupakan taktik atau cara jangka pendek masyarakat Melayu dalam menggunakan sumber daya alamnya, maupun berhubungan dengan peristiwa atau keadaan ekonomi sesaat. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut berarti mereka harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang alam dan lingkungan hidupnya, serta kiat atau teknik menghasilkan sesuatu yang berguna secara ekonomis dari sumber dan lingkungannya. Sebab dengan pola itu, orang Melayu bisa melihat hubungan dan saling ketergantungan antara manusia dengan alam, serta hubungan antara flora dan fauna dengan hutan tanah. 

Tujuan tapak lapandan peresukdi atas, selain untuk keragaman sumber pendapatan juga sekaligus taktik menghadapi kegagalan atau krisis akibat hanya bergantung pada satu sumber pendapatan saja. Untuk antisipasi pada saat krisis dan jaminan keberlangsungan hidup keluarga dan perekonomian masyarakat. 

Pemahaman lainnya tentang tapak lapan adalah orang Melayu menetapkan satu pokok sumber pendapatan dan ditambah dengan sumber pendapatan sampingan. Orang Melayu misalnya menjadikan memotong karet sebagai sumber pendapatan utama dan ditambah dengan sumber pendapatan sampingan dari mencari ikan, menganyam, kegiatan mengolah hasil kebun (agroindustri). 

Berbilang abad lamanya pola ekonomi “tapak lapan” atau peresuk, adalah usaha menghindari dari krisis ekonomi. Berdasarkan pola seperti itu dapat kita sanding dan bandingkan dengan ekonomi monokultur saat ini yang hanya mengandalkan sawit atau karet saja. Jika suatu jenis pekerjaan dibatasi oleh musim maka masyarakat tidak akan dapat bekerja. Dalam sejarah ekonomi dunia, depresi ekonomi pernah terjadi pada tahun 1928. Saat itu, harga komoditas turun, maka petani seperti dipaksa melakukan peningkatan produksi supaya kebutuhannya terpenuhi. 

Rujukan:
1. Taufik Ikram Jamil, Derichard H. Putra, Syaiful Anuar. 2020. Pendidikan Budaya Melayu Riau untuk SMA/SMK/MA Kelas X. Pekanbaru: Penerbit Narawita
2. UU. Hamidy. 2000. Masyarakat Adat Kuantan Singingi. Pekanbaru: Bumi Pustaka
3. UU Hamidy. 1990. Masyarakat dan di Daerah Riau. Pekanbaru: Universitas Islam Riau.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar