Cerita Rakyat: Pengertian, Fungsi, dan Konsep

Buku Cerita Rakyat Daerah Riau. (foto: folklor.kosabudaya.id)

Dewasa ini, keberadaan cerita rakyat dalam bentuk aslinya (yaitu lisan) mulai terancam oleh perkembangan. Modernisasi mempengaruhi orientasi kehidupan masyarakat yang semula berbasis komunalitas menuju kepada individualitas. Hal ini diperburuk pula oleh khalayak penyimak yang makin sedikit. Sarang atau kantong tradisi (cerita rakyat) juga terjejas oleh akselerasi pembangunan ekonomi yang kapitalistik. Hal ini menyebabkan cerita rakyat kehilangan khalayaknya.

Pengaruh modernitas juga telah mendorong orang lebih memilih hal-hal yang praktis seperti menonton televisi, dibandingkan harus bercerita atau mendongeng. Cerita rakyat yang dituturkan oleh pencerita spesialis maupun orang awam mulai tergantikan sandiwara radio atau sinetron. Karena semakin jarang di sampaikan, cerita rakyat pun cenderung dilupakan. Inilah tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestarian sastra lisan, khususnya cerita rakyat. Meskipun sulit untuk mengembalikannya pada keadaannya semula, bukan berarti tidak ada upaya yang bisa dilakukan untuk pelestariannya.

Bacaan Lainnya

Apa yang dilakukan oleh para penulis sebagaimana disebutkan di atas, adalah sebagian dari upaya pelestarian cerita rakyat. Transpormasinya ke dalam alat-alat kelisanan baru, seperti radio, televisi, dan lain-lain juga cukup signifikan mempertahankan keberadaan cerita rakyat tersebut. Dalam rangka itu pulalah maka dilakukan inventarisasi cerita rakyat di Provinsi Riau.

Inventarisasi cerita rakyat dapat menjadi sangat penting untuk memantapkan penelitian dan pempublikasian tradisi lisan Melayu sebagai suatu anasir penting kebudayaan di Riau. Inventarisasi dan penulisan (penyalinan maupun kreatif) akan memberikan sumbangan yang berharga bagi upaya merangkakan lebih lanjut program-program revitalisasi nilai tradisi bagi pembangunan Riau ke depan. Selain itu, hasilnya dapat pula menjadi bahan rujukan bagi upaya-upaya lanjutan untuk menghidupkan cerita rakyat dalam ingatan masyarakat. Dengan demikian, meskipun kini semakin jarang ditemui tukang cerita dalam masyarakat, atau orang yang menguasai cerita rakyat, generasi muda masih dapat menikmatinya dalam berbagai bentuk representasi, baik berupa buku-buku maupun rekaman audio-visual.   

C. Takrif dan Konsep
Cerita rakyat, seperti yang disiratkan dengan sebutannya, merupakan tradisi lisan yang hidup dan berkembang di kalangan rakyat. Cerita rakyat hadir dalam bentuk prosa maupun puisi. Cerita rakyat berbentuk prosa terbagi dalam tiga bagian besar yaitu: mite, legenda, dan dongeng (Willian R. Bascom dalam Danandjaya 1991). Mite adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan suci oleh yang empunya cerita. Tokoh-tokoh cerita di dalam mite adalah dewa-dewa dan manusia setengah dewa yang berlatar kehidupan di masa lampau.

Mite umumnya mengisahkan proses suatu kejian alam, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk khas topografi, gejala alam, dsb. Serupa dengan mite, legenda juga dianggap sebagai cerita yang benar-benar terjadi namun tidak dianggap suci. Latar kejadiannya tidak begitu lampau dan terjadi di dunia seperti yang kita diami. Legenda seringkali juga disebut sebagai ‘sejarah’ kolektif (Danandjaya, 1991). Ceritanya berkisar pada suatu tokoh atau peristiwa tertentu yang dianggap penting oleh komunitasnya. Cerita rakyat yang tergolong sebagai legenda adalah epik, sage, cerita sejarah dan cerita asal-usul nama tempat. Cerita dalam kategori legenda ini memiliki potensi perkembangan yang luas. Cerita-cerita baru dapat muncul dalam suatu komunitas ketika ada peristiwa atau tokoh-tokoh yang mereka anggap penting dalam kehidupan mereka.

Sedangkan dongeng merupakan cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi dan tidak terikat oleh waktu dan tempat. Dongeng dimaksudkan terutama untuk hiburan. Cerita dongeng tidak hanya berkisar pada dunia manusia tetapi juga dunia binatang dan tumbuhan yang ‘dimanusiakan’. Berdasarkan objeknya dongeng dapat dipilah lagi menjadi cerita lipur lara, cerita teladan, cerita binatang, dan cerita jenaka. Cerita lipur lara biasanya berkisah mengenai kehidupan sehari-hari dan mengandung unsur kepedihan dan kesengsaraan. Cerita teladan merupakan cerita yang kental dengan pesan moral. Cerita binatang adalah cerita yang tokoh-tokoh utamanya adalah binatang. Sedangkan cerita jenaka yakni cerita yang sifatnya menggelitik, sehingga memancing orang untuk tertawa.  

Cerita rakyat dalam bentuk puisi dan puisi liris pada umumnya disajikan dengan dinyanyikan. Di Riau, contoh cerita rakyat ini adalah Nyanyi Panjang, Koba, Syair, dan kayat. Isi ceritanya beragam, mencakup kategori mite yaitu asal-usul suatu kelompok yang mendiami suatu tempat (Nyanyi Panjang dan Koba), legenda, dan dongeng. 

Beberapa ciri khusus cerita rakyat yaitu:
1) berisi cerita yang mengisahkan suatu kelompok, seorang tokoh, suatu tempat, atau suatu peristiwa,
2) memakai bahasa logat setempat,
3) tanpa pengarang,
4) disebarkan dan diwariskan secara lisan,
5) memiliki bentuk berumus atau berpola, misalnya pada kalimat pembuka biasanya memakai “konon…” atau “pada zaman dahulu kala…”, dst.,
6) berlatar kebudayaan masyarakat tempat cerita tersebut berkembang,
7) penyampaiannya biasanya bersifat bebas dan interaktif, sehingga cerita rakyat selalu mengalami kebaruan (ekstemporisasi) setiap kali disampaikan,
8) sebagian dibawakan oleh tukang cerita pada kesempatan-kesempatan khusus, dan sebagian lagi dapat dibawakan kapan saja oleh siapapun yang menguasainya.

Rujukan:
1. Derichard H. Putra, dkk. 2007. Cerita Rakyat Daerah Riau. Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau.
2. Elmustian Rahman, dkk. 2004. Direktori Sastra Lisan. Pekanbaru:  Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau.
3. James Danandjaja. 1991. Foklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dll. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *